4. Percakapan Sederhana

6K 444 17
                                    




Ternyata dongengnya tidak tamat, hanya butuh jeda sesaat. Buktinya waktu kembali mempertemukan ia dan sang mantan. Ck, meski pernikahan lima tahun silam  tidak dilandasi oleh rasa, tapi tetap saja Janu perlu bertanggung jawab atas apa yang ia lewatkan. Memang segalanya masih samar-samar, tapi merunut serangkaian kebetulan serta secuil fakta—yang kadang enggan ia terima—justru membuatnya yakin, bahwa dibalik pernikahannya yang singkat, ada alasan yang kemudian mengikat.

Barangkali Eila jawabannya.

Ah, cantik sekali nama gadis kecilnya.

Janu mesam-mesem, mengingat makhluk mungil yang ditemuinya kemarin.

"Ada apa ya, Mas?" tanya si driver—agak takut, terlihat dari sorot matanya.

"Boleh, saya tahu titik penjemputan mantan istri saya tadi?" izin Janu.

"Oh." Embusan napas lega lolos dari bibir sang driver. "Di TK Cendana, Mas."

Finally!

Bibir Janu melengkungkan senyum riang, lalu dengan semangat ia segera meluncur ke TK Cendana—setelah mengucapkan terima kasih serta meninggalkan kartu nama, barangkali suatu saat si bapak driver butuh bantuan. Sejurus kemudian ponselnya berdering ribut ketika langkahnya hampir mencapai area parkir.

Sambil berdecak, Janu terima panggilan tersebut. "Paan?"

"Mas Nu, gue lagi di Bandung. Apartemen lo sebelah mana sih? Kayaknya gue nyasar deh. Mana ban motor gue bocor." Cerocosan adik bungsunya membuat Janu memutar mata. Kesal bukan kepalang punya adik yang jarak usianya lima belas tahun lebih muda darinya. Paling nggak bisa sehariiii aja nggak ngerecokkin abangnya. "Mas Nu, tolongin! Tadi gue telepon Mbak Jihan malah diomeli."

"Ya iyalah, orang Jihan di Jakarta."

"Ya udah, ini solusinya gimanaaaa? Emang lo nggak takut adek lo yang tampan dan masih segelan ini diapa-apain?" Janu mendengkus mendengar ocehan adiknya yang baru lulus SMA. Seperti biasa, bukan Jovan namanya kalau nggak banyak drama.

"Lo telepon Hanz, okay? Gue lagi ada urusan. Penting."

"JADI GUE NGGAK PENTING BUAT LO, MAS?!"

"Iya."

Setelahnya, panggilan terputus.


***

Eila cemberut karena tak mendapati siapa-siapa di luar sekolah. Sekarang waktunya pulang, tapi Titi-nya ngilang entah kemana. Gadis cilik itu berderap menuju kursi panjang—bawah pohon mangga, duduk di sana. Mama pernah bilang; jangan pulang atau pergi sendirian. Eila paham karena maraknya kasus penculikan. Dan Eila tidak ingin seperti tetangganya yang diculik lantaran nekat pulang sendirian. Maka dari itu, Eila memilih menunggu sambil ditemani barbie di tangannya—boneka pemberian Titi.

Cukup lama Eila menunggu, kepalanya celingak-celinguk, tapi belum ada tanda-tanda Titi-nya akan menampakkan diri. Eila menggersah, bahunya merosot lesu. Apa Titi sengaja meninggalkannya di sekolah? Eila makin manyun.

"Ya elah, bengkel di mana sih ni?" Racauan seseorang menyita perhatian Eila.

Tidak jauh dari posisinya, tampak seorang pemuda—yang kira-kira sepantaran Titi-nya merutuk sambil mendorong motor. Eila mengernyit, memperhatikan setiap gerak-gerik pemuda tersebut, hingga posisi si pemuda berada tepat di hadapannya, lantas berhenti. Eila langsung waswas.

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang