2. Mengenang Masa Lalu

8.9K 482 23
                                    


Pertemuan sore tadi tak Nada ceritakan pada siapapun. Ia tidak ingin orang tuanya kepikiran setelah apa yang terjadi lima tahun silam. Memang semua berjalan atas skenario-Nya, tapi buat Nada, mengungkit apa yang seharusnya dilupakan hanya akan menyakiti diri sendiri. Terlebih ayah dan ibunya sudah berbesar hati mau menerima juga menjaganya selepas sidang perceraiannya dengan Janu. Dan pula, melihat bagaimana Inez tadi, rasanya percuma untuk Nada membagi realita yang sebenarnya.

Biar saja Eila menjadi sejarah untuk perjalanan singkatnya dengan pria itu.

Toh, tanpa Janu, Eila masih bisa tersenyum seperti anak-anak pada umumnya.

"Siap ya? Satu ... dua ... tiga!"

Nada yang duduk di sofa menoleh, mendapati Nara tengah memvideo Eila untuk mempromosikan keripik kentang. Gadis cilik yang malam ini mengenakan rok bunga-bunga itu duduk di undakan tangga, sementara Nara agak jauh dari undakan. "Hmm, kelipik kentang pedas, nggak enak, Eya nggak suka." Memuntahkan keripik yang barusan dikunyah, ia lempar sisanya ke sembarang arah.

Otomatis Nara yang dibayar untuk endorse kontan misuh-misuh. "Eila! Nggak dilepeh juga dong!"

"Pedes, Titi. Nggak suka," keluh Eila.

"Coba lihat!" Nara merampas ciki di tangan Eila, melotot. "Kan tadi Titi udah bilang; jangan yang pedes. Yang gurih warna apa sih?" Meneliti dua bungkus beda warna, ia lantas berdecak. "Harusnya yang ini, Cil!"

Eila mengerucutkan bibir. Bangkit, kakinya diayun menghampiri sang ibu, naik ke pangkuan wanita itu. "Mama, tidul," rengeknya, manja.

"Itu muntahan Eila dibersihin dulu," titah Nada, kalem.

Anaknya menggeleng. "Tidul."

"Bersihin dulu dong! Ayo, Mama bantuin!" Nada menurunkan Eila, dimintanya anak itu mengambil lap pel, lalu ia intruksi untuk membersihkan muntahannya. Walau sedikit, Eila perlu diajari tanggung jawab sejak dini. "Lapnya taro di kamar mandi aja, biar nanti Mama cuci."

"Okay, Mama."

Setelah itu, keduanya melenggang ke kamar untuk tidur.

Tapi Eila nggak langsung tidur. Bocah itu kembali berulah. Lari-larian sambil menyeret selimut, lalu memanfaatkan kain tebal tersebut sebagai jubah laiknya Batman. Bosan dengan selimut, ia lempar ke sembarang arah, kemudian berderap menuju keranjang pakaian kotor. Mengobrak-abriknya.

Betul-betul bikin capek.

"Mama, ini nenen." Eila meraih bra milik ibunya.

"Astaga, Eila!" decak Nada, "Udah dong mainnya. Bobok yuk?"

"Mama," panggil Eila, mendekati ibunya.

Dengan senyum lega, Nada menyambut tubuh mungil anaknya. Ia peluk dari sisi. Namun, tanpa diduga Eila menyentuh dadanya. "Mama, Eya nenen Mama." Praktis Nada melotot.

"Ya nggak boleh dong. Kan Eila udah sekolah."

"Kalau udah sekolah, nggak boleh nenen Mama?"

"Benar."

Eila merapatkan posisi, bersandar di dada ibunya.

Nada mengusap surai hitam sang putri dengan lembut. "Eila happy nggak, tadi ulang tahunnya dirayain?"

"Happy," jawab Eila. "Eya dapet jam tangan dali Uncle," bebernya, antusias. "Telus Eya dikasih baju sama Uti sama Akung." Mendongak menatap ibunya. "Hadiah buat Eila banyak."

Bibir Nada menyunggingkan senyum, kepalanya mengangguk samar. "Tapi ... Eila nggak boleh pamer. Sebanyak apa pun hadiah yang Eila terima tahun ini, Eila harus bersyukur. Nggak boleh bersaing bagus-bagusan sama yang lain, okay? Anak Tuhan harus rendah hati."

Repair [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang