Leece baru saja patah hati. Dia tidak mau merasakan sedih yang berlarut, maka menyusun sebuah rencana untuk menunjukkan bahwa hidupnya lebih bahagia tanpa sang mantan dan bisa menemukan pria yang jauh lebih menawan. Bukan dengan cara menyakiti seseo...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Meski efek bercumbu bersama istri membuat Faydor ketagihan dan berakhir pekerjaan tidak cepat selesai, tapi dia sangat menyukai itu. Sekarang lebih terkesan santai dan tak terlalu mengejar projek supaya selesai lebih awal. Yang penting ia tetap tanggung jawab dengan kewajibannya sebagai penyedia jasa. Setiap malam keduanya tak pernah absen untuk saling melucuti dan menyatukan tubuh. Sepertinya sudah menjadi hobi bagi suami istri yang jarang keluar, hanya sesekali pergi itu pun saat ada urusan.
Leece mendorong dada Faydor setelah pria itu ambruk di atasnya. Terhitung tujuh hari mereka menginap di hotel, dan sudah perpanjang lagi hingga satu minggu kemudian. Saking nyamannya ada di sana, sampai tak pulang-pulang.
Napas masih terengah-engah, mencoba menetralkan sebentar, barulah Leece berbicara. "Hari ini kita diundang Mommy untuk ikut merayakan ulang tahunnya," beritahunya.
"Mommy siapa?" Faydor balas dengan menimpali. Bingung juga kalau semua dipanggil Mommy, tak ada pembeda antara orang tuanya atau sang istri. Sembari tangan memainkan rambut Leece.
"Mommymu, kau lupa dengan tanggal lahir orang tua sendiri?"
Faydor mengedikkan bahu. "Tumben mau merayakan, biasanya juga diam saja atau cukup masak banyak dan ajak makan."
"Mungkin makan-makan biasa, rindu berkumpul bersama keluarga, bisa jadi." Leece mencolek hidung mancung suami, lalu berangsur duduk dengan tangan menahan selimut supaya tetap menutupi area dada. "Kita harus ke apartemen dulu, baju-baju bagusku ada di sana."
Faydor menghembuskan napas seiring kedua tangan terlipat di belakang kepala untuk bantalan. "Iya, sekalian aku akan mencari di mana Galtero meletakkan kamera."
Saking seru dan asyiknya setiap waktu yang dihabiskan bersama Leece, Faydor lupa dengan alasan kenapa ia sampai tinggal sementara di hotel.
Mereka tak mandi terlebih dahulu setelah bercinta di pagi hari. Langsung membungkus seonggok daging dengan pakaian santai, lalu keluar, membelah jalanan Kota Helsinki untuk pulang ke apartemen sebentar. Rencananya akan bersiap di sana saja.
"Aku ke kamarku, ya?" Sampai di apartemen, Leece izin menunjuk ruangan yang biasa menjadi tempatnya tidur selama dua bulan menikah. Sekarang sudah pasti tidak mungkin pisah kamar.
"Nanti, aku pastikan dulu kameranya ada di mana saja. Bisa jadi dalam kamar mandi juga ada." Faydor menggenggam tangan sang istri, menarik Leece untuk sama-sama ke kamarnya.
Faydor menelusuri seluruh sudut ruangan. Begitu juga dengan Leece turut membantu. Mata jelinya mulai ditajamkan, memindai tanpa luput sedikit pun. Dan dia menemukan benda kecil yang tersembunyi di atas almari. Nyaris tidak terlihat kalau ia tak melihat kelap kelip sensor berwarna merah.
Tangan Faydor meraih benda itu dan ditunjukkan pada Leece. "Ulah kembaranku."
Leece melongo dan tidak habis pikir. Memegang benda kecil yang ternyata sebuah kamera terhubung oleh orang yang memiliki akses. "Kenapa dia melakukan itu pada kita?"
Faydor mengedikkan bahu, lalu menjawab dengan sedikit ragu. "Dia hanya mau memastikan aku memperlakukanmu dengan baik." Memang benar begitu, bukan? Tujuan Galtero hanya risau kalau sewaktu-waktu ia menyakiti hati Leece. Walau isi pikirannya mengatakan lain.
"Sampai segitunya?" tanya Leece masih dengan reaksi yang tidak habis pikir.
Faydor mengacak-acak rambut istri hingga lebih berantakan daripada tadi. "Kau itu seperti adik kecil kami. Jadi, wajar saja kalau dia juga mau melindungimu dari kebrengsekanku," jelasnya. Sekaligus sangat santai mengatai diri sendiri berengsek.
"Masih dianggap adik kecil, ya? Padahal sekarang aku istrimu, dan tiap malam pun sudah menyerahkan diri sepenuhnya." Ada sedikit helaan napas sendu. Mau sampai kapan ia dipandang belum dewasa? Derita anak terakhir dan satu-satunya wanita.
Faydor segera menarik tangan sang istri. Membawa Leece ke dalam pelukan dan kecupan bertubi-tubi. "Dahulu aku hanya menganggapmu sebagai adik. Tapi ...." Ia raih dagu, mengarahkan wajah wanita dalam kendalinya itu supaya sedikit mendongak dan saling menatap. "Sekarang semua berubah tidak sesuai jalur yang semestinya. Aku merasakan kehadiranmu mulai membuat hidupku tidak sekaku biasanya yang dipenuhi oleh kesibukan pekerjaan. Kini, aku merasakan ada perbedaan atas keberadaanmu."
Oh ... terharu sekali mendengar ungkapan suami. Leece merasa kalau Faydor tidak lagi dingin, kaku, dan pelit bicara dengannya. Tapi, jika bersama orang lain masih sama. Mungkin karena sekarang keduanya telah terbiasa hidup bersama. "Memang apa yang berubah darimu?"
"Jadi sering bermalas-malasan," ungkap Faydor jujur.
Membuat Leece melongo. "Seburuk itu efek kehadiranku dalam hidupmu?" Kemudian ada decak yang keluar. Awalnya ia pikir jika pengaruh positif, ternyata berkebalikan. Memang agak lain suaminya itu.
Leece mendorong Faydor supaya melepaskannya. Memunggungi pria itu.
Faydor kembali menjelaskan lebih spesifik kenapa ia mengatakan bermalas-malasan adalah suatu perubahan. Dengan memeluk dari belakang, dan telapak mengusap perut rata Leece. "Sebelum bersamamu, hidupku terasa monoton oleh pekerjaan, dan nyaris jarang memikirkan untuk bersantai. Tapi, ketika denganmu, sekarang aku ingin menjalani setiap hari secara santai, tidak perlu buru-buru dalam menyelesaikan projek, asal masih terhitung batas waktu."
Memberikan jeda sejenak, Faydor mendaratkan kepala di leher Leece. Menciumi pundak yang wangi parfum. Padahal menyemprot kemarin, tapi aroma masih menempel sampai sekarang. Dia sangat suka parfum milik istrinya. "Mungkin bagimu terdengar pengaruh buruk. Tapi, untuk aku yang merasakan sendiri, kau membawa perubahan baik."
Menyentuh kedua bahu sang wanita, Faydor memutar tubuh Leece. Menangkup pipi kanan dan kiri, lalu sedikit menundukkan kepala supaya bibirnya bisa mencapai bibir seksi di depan mata. Ciuman pun tak terelakkan. Pelan namun pasti, cepat dan menuntut balasan, saling mencecap dan menarik lidah satu sama lain. Kini mempersatukan bibir bukan lagi hal yang biasa, mereka merasa itu adalah ungkapan istimewa.
Tidak ada maksud untuk meminta lebih dari itu. Faydor sudah cukup melakukan tadi saat di hotel. Ia menarik kepala dan mengakhiri pagutan. Merangkul pundak sang istri, lalu diajak berpindah ke kamar sebelah untuk mencari kamera tersembunyi, siapa tahu ada.
Lagi-lagi pandangan keduanya harus memindai secara jeli. Jika di kamar sebelah Faydor yang menemukan, kali ini Leece yang mendapatkan sebuah kamera kecil tepat di atas kaca.
"Kembaranmu itu cabul, ya?" Leece menyelutuk secara spontan. Ia menatap benda kecil itu dengan kepala bergeleng pelan. "Dia meletakkan di kamarku juga. Berarti sering melihatku ...." Tidak bisa melanjutkan kalimat berikutnya. Tangan menutup mulut yang menganga lebar dan mata membulat utuh menatap suami.
Faydor seakan paham dengan apa yang dimaksud oleh istrinya. Merebut benda di tangan Leece, menggenggam sangat erat. Mendadak ada emosi yang mulai muncul ke permukaan. "Aku akan beri dia pelajaran. Bisa-bisanya mengawasi aktivitas istriku juga saat di kamar." Membanting kamera kecil itu ke lantai dengan segenap kemarahan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.