Leece belum bisa memberikan respon apa pun. Kehadiran Faydor yang tanpa ia ketahui, berhasil membuat sekujur tubuh membeku. Rasanya ingin memeluk pria itu dan menangis menumpahkan seluruh kerinduannya. Namun, dia cukup sadar diri kalau jarak mereka saat ini sedang terbentang jauh, dan itu adalah ulahnya. Jadi, merasa tak pantas kalau rindunya terbalaskan.
"Aku mengejar untuk menyelesaikan tugas akhir supaya cepat lulus. Hanya kelelahan, mungkin beberapa hari lagi sembuh dan boleh keluar dari rumah sakit," jelas Leece. Matanya sebisa mungkin menyingkir, tidak memenuhi kornea dengan sosok yang ternyata belum berhasil ia usir pergi dari hati dan pikiran. "Kau, kenapa ke sini?" tanyanya kemudian, seraya menggoyangkan kaki karena rasa gugup melanda.
"Tentu saja khawatir denganmu." Faydor memberanikan diri meraih dan menggenggam erat tangan Leece. Berusaha tak peduli seandainya akan ditampik atau tolak. "Hidupku kehilangan arah tujuan semenjak tidak ada kau, dan hari-hariku berlalu tanpa gairah."
Merasa diabaikan, Faydor menyentuh dagu Leece, lalu diarahkan supaya menatapnya. "Kepergianmu sangat menyiksaku, Leece," ungkapnya. Memang begitulah fakta yang ada.
Memang kau pikir aku tidak tersiksa? Di sini aku pun begitu. Berusaha keras menahan diri supaya tidak merindukan dan memikirkan tentangmu. Leece tidak cukup banyak nyali untuk mengatakan itu secara langsung. Dia hanya menahan dalam hati.
Leece tidak bisa menggerakkan kepalanya karena ditahan oleh tangan Faydor. Pria itu sangat memaksa pandangannya supaya saling menatap satu sama lain. Sejujurnya, dia tak kuat kalau harus menyelami sorot mata yang terpancar sendu. Biasanya selalu tegas, sinis, tajam, tapi kali ini syarat akan kesedihan dan kerinduan mendalam.
Semakin ditelusuri seluruh pahatan wajah Faydor, Leece bisa menangkap jelas bahwa pria itu sedang tidak prima. Reflek tangannya terulur menyentuh pipi, mengusap rahang yang ditutupi oleh rambut tebal. Sangat tidak terurus atau mungkin memang sengaja malas mengurus diri.
Namun, bukan itu yang menyita perhatian Leece, akan tetapi bibir Faydor. "Kau pucat, pipimu juga semakin tirus. Apa kau sakit?"
Mengangguk membenarkan. Tangan Faydor menahan tangan sang wanita supaya tetap bersemayam di wajahnya. Hanya sebatas sentuhan biasa, tapi berhasil dan mampu membuat dadanya kembali merasakan desiran yang kuat lagi.
Mata Faydor terpejam sembari menggerakkan telapak Leece supaya terus mengusapnya. Menikmati moment yang sangat ia inginkan. Mungkin sederhana, tapi itu membuatnya terasa hidup kembali.
"Tidak ada yang memperhatikan makanku lagi, tak ada yang berusaha belajar memasak untukku juga. Semua makanan terasa tidak enak kalau bukan hasil tanganmu. Jadi, aku jarang makan, menyibukkan diri, stres, berakhirlah memiliki GERD." Faydor bukan mendramatisir demi mendapatkan belas kasih, nyatanya memang begitu.
Leece menatap sendu dan sangat merasa bersalah. "Maafkan aku karena membuatmu jadi begini." Awalnya dia tidak ingin memeluk. Tapi, sekarang tidak mampu menahan diri, akhirnya kedua tangan pun melingkar di leher Faydor, mencurukkan kepala di bahu bidang sang pria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge For A Heartbreak
ChickLitLeece baru saja patah hati. Dia tidak mau merasakan sedih yang berlarut, maka menyusun sebuah rencana untuk menunjukkan bahwa hidupnya lebih bahagia tanpa sang mantan dan bisa menemukan pria yang jauh lebih menawan. Bukan dengan cara menyakiti seseo...