Tidak terasa sudah tiga bulan saja pernikahan Faydor dan Leece. Semakin bertambahnya hari, mereka berdua kian dekat dan lengket satu sama lain. Pertanda bagus, mereka juga telah melupakan kesepakatan di awal sebelum pernikahan yang tidak terlalu kuat juga karena tak ada saksi. Kini hanya ada sepasang suami istri tanpa ada kepentingan masing-masing. Leece tidak berkeinginan untuk balas dendam pada mantan, dan Faydor juga tak butuh ditutupi lagi hubungan bersama kekasih. Mereka sudah berdamai dengan apa yang terjadi, dan memilih untuk menjalani hari dengan menjadi pasangan normal yang saling mengasihi tanpa pamrih.
Semenjak kehidupan privasi diusik oleh Galtero dengan menaruh kamera pengawas dan perekam suara, Faydor memilih untuk mengajak Leece pindah tempat tinggal saja. Ia membeli rumah di kawasan yang masih sepi penduduk, masih di sekitar Kota Helsinki. Tidak terlalu besar huniannya karena menurutnya yang dibutuhkan saat ini cukup untuk dua orang saja. Sesuai kebutuhan.
Kegiatan Faydor dan Leece lebih banyak dihabiskan dalam rumah. Jarang sekali keluar untuk tamasya. Otak si pria lebih cepat bekerja dalam berpikir saat kondisi di rumah sendiri, walau di luar juga bisa, tapi kecepatan berpikir berbeda dengan di zona nyamannya. Sementara Leece, justru kebalikannya.
Terdengar sebuah hembusan napas kasar diiringi bunyi punggung yang membentur sandaran kursi secara keras. Desah lelah bercampur frustasi tak luput mengiringi. Memperlihatkan secara jelas bahwa Leece sedang dalam kondisi bingung sekaligus pusing. "Aku tak bisa berpikir," keluhnya kemudian.
Faydor menghentikan aktivitas yang seperti biasa, berkutat dengan perkodingan. Saat ini keduanya tengah duduk berhadapan di satu meja yang sama. Tepatnya di ruang makan. Sepasang mata menatap ke arah sang wanita yang sedang cemberut, anehnya terlihat menggemaskan, seperti bocah sedang ngambek. Lucu, dia suka segala ekspresi yang ditunjukkan oleh sang istri. Belum semua dilihat juga, masih ada mimik benar-benar sedih, kecewa, dan banyak lagi. Tapi, harapannya tak akan pernah menyaksikan Leece dalam kondisi begitu. Cukup bahagia, pusing, ngambek, cemberut saja.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Faydor. Berhenti sejenak untuk meninggalkan kursinya, ia berdiri dan bergerak mendekati Leece. Tubuhnya tegak dan kokoh di belakang punggung sang istri, ikut melihat layar di MacBook milik wanita itu yang menunjukkan progres tugas akhir strata satu yang tak kunjung selesai juga sampai sekarang.
"Aku susah berpikir jika di dalam rumah terus," keluh Leece. Mendongakkan kepala hingga bisa melihat wajah sang pria dari bawah. Faydor nampak peduli dengan kesulitannya, walau ia tahu jika pria itu tak paham tentang arsitektur.
"Yasudah, kerjakan di taman belakang saja." Faydor meraih MacBook Leece, siap diangkat untuk dipindahkan.
"Bukan itu maksudku." Leece segera menahan tangan suami supaya tidak beranjak pergi dan mengembalikan barangnya ke tempat semula. "Tapi, aku bisa berpikir kalau sambil liburan," beri tahu kemudian. Ia meringis, mungkin terdengar aneh, tapi memang begitu, makanya sering jalan-jalan ke luar negeri karena otaknya lebih encer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge For A Heartbreak
ChickLitLeece baru saja patah hati. Dia tidak mau merasakan sedih yang berlarut, maka menyusun sebuah rencana untuk menunjukkan bahwa hidupnya lebih bahagia tanpa sang mantan dan bisa menemukan pria yang jauh lebih menawan. Bukan dengan cara menyakiti seseo...