Waktu sangat tak terasa cepat berlalu. Sudah satu bulan saja Faydor dan Leece di Hawaii. Berhubung hari ini adalah terakhir sebelum pulang ke New York untuk sang istri bimbingan lagi dengan dosen, mau dimanfaatkan jalan-jalan saja. Sudah cukup puas ditumbuk terus oleh suami, entah adonannya jadi si kecil atau tidak, Leece hanya ingin jika hamil ketahuan supaya bisa ia jaga, tak lalai lagi. Tapi, sepertinya tidak semudah dan secepat itu juga. Baru dibuat selama sebulan, mana mungkin langsung tumbuh biji di dalam rahim. Dia tidak mau banyak berharap, tapi kalau dikasih secepatnya juga diterima dengan lapang dada.
Leece menggandeng tangan suaminya, dua pasang kaki itu berjalan menyusuri pasir pantai tepat di bagian bibirnya. Gulungan ombak yang terpecah itu sampai menerpa dan membasahi kaki Leece dan Faydor.
"Jadi, Hawaii destinasi liburanmu yang ke berapa?" tanya Leece. Dia mengajak suami untuk menepi dan mencari tempat yang lebih teduh. Lama-lama pusing juga terpapar sinar matahari.
Bahu Faydor mengedik, bingung untuk menjawab. "Aku tidak suka liburan, jalan-jalan juga sangat jarang. Mungkin setelah menjadi suamimu baru aku mulai melakukan itu," jelasnya.
Keduanya duduk di restoran untuk makan sekalian. Sembari sedikit mengobrol saat menanti pesanan sampai.
"Ini yang ketiga? Pertama di Croatia?" tanya Leece memastikan.
Faydor mengangguk membenarkan. "Ke luar negeri sudah sering, tapi bukan untuk liburan, hanya urusan pekerjaan."
Leece bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. "Wah ... aku merasa tersanjung bisa membuatmu jadi suka liburan karena tertular kebiasaanku yang sangat senang jalan-jalan ke pantai, bukit, dan tempat-tempat yang memiliki pemandangan indah."
Faydor sedikit terkekeh, tangannya terulur naik ke atas kepala sang wanita, sedikit memijat puncak kepala itu. "Kalau bukan karena kau, mungkin aku masih suka di dalam kamar dan lebih memilih tidak mengenal apa itu liburan."
Menarik tangan suaminya, Leece menggenggam dan diletakkan ke atas meja. "Bagaimana rasanya travelling? Seru, kan?" Alisnya naik turun menggoda.
"Lumayan, tapi tetap di dalam kamarku jauh lebih nyaman," jawab Faydor.
Leece mencebikkan bibir. "Dasar introvert," cibirnya, hanya sebagai candaan saja, bukan bermaksud mengejek.
Leece pamit untuk ke toilet sebentar. Tersisalah Faydor seorang diri. Tepat saat pelayan datang meletakkan makanan, ponselnya bergetar bersamaan dengan dering menyambar pendengaran. Melihat di atas meja, layar ukuran enam koma tujuh inch itu memperlihatkan nama Galtero.
Entah apa yang akan disampaikan, tapi Faydor sangat tahu pasti bukan sesuatu yang baik untuk didengar. Dia paham betul dengan kebiasaan cara komunikasi mereka, jadi tidak mungkin menghubungi kalau bukan karena ada berita buruk atau sesuatu sangat penting.
Sembari menanti Leece kembali dari toilet, Faydor memutuskan untuk meraih ponsel dan mengangkat telepon tersebut. "Apa?" Langsung pada inti pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge For A Heartbreak
ChickLitLeece baru saja patah hati. Dia tidak mau merasakan sedih yang berlarut, maka menyusun sebuah rencana untuk menunjukkan bahwa hidupnya lebih bahagia tanpa sang mantan dan bisa menemukan pria yang jauh lebih menawan. Bukan dengan cara menyakiti seseo...