Part 34

8.5K 369 8
                                    

Yang mau baca lebih cepat bisa ke karyakarsa ya bestie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang mau baca lebih cepat bisa ke karyakarsa ya bestie. Di sana udah tamat

*****

Tubuh Leece terasa pegal semua. Semalaman ia dihajar habis oleh suami. Entah berapa kali, lupa. Mungkin tiga atau empat. Dia baru tahu kalau Faydor benar-benar lihai dalam melahapnya, mengajarkan dirinya tentang bercinta supaya tidak kaku meski baru pertama kali mencoba. Dalih yang diberikan mau mengajari, tapi ternyata memang gairah suaminya saja yang terlalu menggebu. Sekarang ia lemas, juga masih terasa perih di area pangkal paha.

Leece belum membuka mata, menyempatkan meraba perut polosnya. Tidak menemukan tangan kekar melingkar lagi di sana. Dia ingat betul terakhir kali Faydor memeluknya erat, memberikan kenyamanan dalam dekap hangat sebelum sama-sama tertidur pulas.

Namun, sekarang Leece tidak merasakan apa-apa, hampa. Ada perasaan gusar menusuk dada. Dia takut akan berakhir seperti Rose yang terbuang setelah memberikan apa yang Faydor inginkan, kepuasan seksual. Rasanya ada yang mencekat di tenggorokan. Membayangkan saja sudah semenyedihkan itu.

Leece perlahan membuka mata. Sunyi, dia masih berada di hotel untuk sementara waktu.

Memutar posisi tubuh hingga kini menghadap ke langit-langit kamar, Leece menarik selimut supaya kian ke atas dan menutupi dada polosnya. Dia masih telanjang sampai sekarang.

"Sudah bangun?"

Pertanyaan dari suara maskulin itu membuat Leece menggerakkan bola mata ke kanan. Ia pikir, Faydor pergi meninggalkannya setelah semalam ia menyerahkan diri sepenuhnya pada lelaki itu. Ternyata tidak. Suaminya hanya bergeser tidur menjadi ke tepi. Lega karena masih bisa melihat sosok yang sudah mengambil mahkotanya. Dia bukan seperti pelacur yang dihempas setelah dipakai.

"Baru saja," jawab Leece, tidak lupa melemparkan sebuah senyuman.

Faydor tidak memberikan tanggapan apa pun. Pria itu hanya kembali memejamkan mata, lalu memunggungi Leece.

Kini pandangan Leece terhenti pada tato mawar. Seperti melambainya supaya mendekat. Perlahan menggeser tubuh sampai jarak dengan suami terkikis habis. Tepat di balik punggung, ia melingkarkan tangan di perut berotot suami.

Leece bisa merasakan ada telapak hangat menimpa punggung tangannya, lalu mengusap. Faydor tidak marah ia peluk begitu, justru tersambut dengan baik. Membuatnya senang.

"Masih mau lanjut tidur?" tanya Leece.

"Ya, sebentar saja," jawab Faydor. Punggung merasakan ada sesuatu yang kenyal menempel di sana. Pasti dada Leece. Jika tak kasian dengan istrinya, sudah dia tindih lagi. Tapi, semalam sudah cukup menguras tenaga. Apa lagi Leece baru pertama kali. Dia harus memberikan pengertian kalau jam terbang peranjangan mereka berbeda. Jadi, sebisa mungkin tidak terpengaruh.

"Tumben. Biasanya jam segini sudah sibuk di depan layar," tutur Leece. Ia mencium tato mawar Faydor. Entah kenapa, setelah mendengar penjelasan suami tentang filosofi goresan tinta berwarna hitam itu, kini ia merasa senang dengan bunga mawar yang abadi di kulit suaminya. Mungkin ia lega karena alasan Faydor membuat tato itu bukan karena Rose si bunga bangkai. Justru alasan lain yang menurutnya sangat romantis dan menandakan bahwa pria yang menikahinya adalah sosok penepat janji.

"Sesekali malas tidak masalah, kan?" Faydor membalikkan posisi. Kini berganti Leece yang ia peluk. Mengecup kening sang wanita untuk beberapa saat. "Biaya kehidupanmu sehari-hari masih bisa ku penuhi. Tenang saja." Pria itu mengerakkan pipi tepat di atas kepala sang istri. "Tugas akhirmu jangan lupa dikerjakan, sia-sia ku bayar uang kuliahmu kalau kau tidak ada progres."

Leece meringis di balik dada bidang. Seakan diingatkan oleh orang tua sendiri supaya tidak bermalas-malasan menyelesaikan kuliah. "Iya, nanti jika sudah ada ide."

Tidak ada lagi percakapan. Leece bisa merasakan hembusan napas teratur menerpa rambutnya. Saat mendongak, ia mendapati Faydor telah terlelap lagi. Baru kali ini sepasang mata bisa menyaksikan seorang Faydor Calle Giorgio tidak rajin bekerja, justru menghabiskan waktu dengan memeluknya. Sangat langka, apa lagi dia mengenal pria itu sebagai tipikal orang yang gila kerja dan mengedepankan karir dibanding segalanya.

Leece merasa hidupnya memiliki posisi lebih istimewa sampai bisa menggeser tahta pekerjaan. Berarti percakapan kemarin memang benar dan sesuai. Jadi, tidak perlu lagi risau kalau sewaktu-waktu akan ditinggal demi karir.
.....
Entah berapa lama Faydor terlelap lagi. Mata terasa sangat berat untuk dibuka. Aroma tubuh Leece berhasil membuatnya bermalas-malasan selama seharian. Dia bisa melupakan pekerjaan, dan merasakan pikiran menjadi lebih ringan. Istrinya benar-benar menyihir. Cocok jika ia beri panggilan the witch.

Baru kali ini Faydor merasakan nyaman. Padahal, dia jarang bisa lelap kalau bukan di tempatnya sendiri. Bahkan biasanya menginap di hotel pun lebih banyak mengabaikan ranjang. Sekarang tidak. Mungkin efek ada Leece, jadilah terasa seperti di rumah sendiri.

Faydor melepaskan rengkuhannya saat sang istri mengatakan ingin ke kamar mandi. Melihat bagaimana wanita itu berjalan, terlihat jelas kalau menahan sakit.

"Mau ku gendong?" tawar Faydor. Kasian juga, Leece begitu karena ulahnya.

"Seperti anak kecil, nanti kau panggil aku bocah lagi," tolak Leece. Meski perih, tapi tetap maju terus pantang mundur. Padahal semalam enak-enak saja ketika permainan mulai berlangsung. Sekarang efeknya terasa luar biasa.

"Memang kenyataannya begitu, kan?" Faydor sudah berdiri di belakang Leece. Langsung membopong tubuh polos sang istri.

Kedua tangan otomatis melingkar di leher. Leece perlu waspada supaya tidak jatuh ke lantai. "Panggil yang romantis, istri sendiri dikata bocah," pancingnya. Penasaran, apa yang akan Faydor ucapkan untuk mengganti namanya.

"Oke, aku akan memanggilmu penyihir." Faydor mendaratkan kaki Leece di atas lantai kamar mandi.

Mulut sampai menganga lebar dan mata membola sempurna. "Yang benar saja, cantik-cantik begini dikata penyihir," protesnya tidak terima.

Telapak lebar Faydor meraup seluruh wajah Leece. "Banyak protes, mandi sana, atau perlu ku mandikan juga?"

"Aku bukan mayat, ya ... masih bisa mandi sendiri." Leece mencebikkan bibir sebal. "Punya suami kaku, sekalinya minta panggilan romantis, justru penyihir yang disematkan untukku." Bergeleng tidak habis pikir, tapi begitulah risiko memiliki pasangan yang tingkat kemesraannya berbeda.

"Kenapa menatapku terus? Mau ku mandikan? Ayo, kita masuk bersama, tidak perlu menunggumu menjadi mayat dulu." Faydor meraih pintu, dan siap untuk menutup rapat.

Tapi, Leece segera mendorong tubuh polos nan kekar itu supaya keluar. "Aku tidak yakin kalau kita hanya mandi, pasti kau mau mencoba gaya lain di sini."

Faydor tersenyum penuh arti. "Tahu saja isi pikiranku."

Leece kini kian berani dengan suami. Dia terlalu gemas, berakhirlah kepalan tangan mendarat di kepala Faydor. "Dasar om-om mesum." Kemudian ia harus menyelamatkan diri supaya tidak dilahap lagi. Suaminya terlalu ganas. Sisa pegal dan perih semalam saja belum reda.

Sementara Leece mandi, Faydor mulai membuka MacBook. Sembari menunggu bergantian kamar mandi, dia mau mencicil pekerjaan. Mulai berkutat dengan coding lagi. Sebelum memulai, matanya tertarik pada jam yang ada di sebelah kanan bawah. Pukul dua siang.

Kepala Faydor menggeleng dan seakan tidak percaya. "Jam segini aku baru mulai pekerjaan? Luar biasa pengaruh Leece dalam hidupku, bukan membuat semakin rajin, justru bertambah malas."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Revenge For A HeartbreakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang