"Gua nggak tau takdir akan bawa pertemuan kita ini ke arah mana Sal"
***
"Nab, gua mau ke rumah Rony dulu ya."
"Wedede, udah main ke rumah aja nih." Goda Paul pada kedua temannya.
"Ponakan gua yang minta," balas Rony tidak ingin Paul menggoreng mereka lebih jauh lagi.
"Waduh, sampe udah dekat sama ponakannya juga nih." Lanjut Paul yang justru semakin menjadi.
"Strategi yang bagus Ma," ujar Paul menepuk-nepuk pundak Salma.
"Lu kalau nggak tau apa-apa nggak usah bacot deh," ketus Salma menepis kasar tangan Paul.
"Udah ah, kak Paul sama kak Salma berantem terus kayak abang sama adek."
"Dih, ogah punya abang kayak dia."
"Gua mau sih punya adek kayak lu biar dimasakin tiap hari."
"Itu mah memperbudak gua."
"Mending lu bawa Salma sekarang deh, Ron," pinta Paul tidak ingin memperpanjang perdebatan yang tiada usainya.
"Titip Nabila, awas dia kenapa-kenapa." Pesan Salma mengepalkan tangannya sebagai ancaman.
Di dalam mobil Salma lebih banyak diam. Sepertinya gadis itu masih memikirkan tentang proyek dan perusahaan. Ia harus bisa membuktikan bahwa papanya tidak bersalah atas apa yang telah terjadi.
"Jangan terlalu dipikirin," ujar Rony menyadari Salma yang sedari tadi melamun.
"Ternyata susah ya Ron," nada bicara Salma melemah, tidak seperti Salma yang biasanya.
"Yang namanya masalah nggak ada yang mudah, Sal." Salma menengok ke arah Rony yang tampak fokus pada jalanan.
"Dan hidup nggak akan lepas dari masalah," sambung Rony menatap ke arah Salma membuat tatapan keduanya beradu untuk beberapa detik.
"Kita bisa selesaikan ini kan Ron?"
"Gua berkali-kali dan akan selalu bilang ini sama lu. Tenang Sal, ada gua."
Salma dapat melihat keseriusan di wajah Rony. Meski hanya dari samping, namun mimik laki-laki itu dapat meyakinkan Salma bahwa apa yang baru saja ia katakan bukanlah sebuah guyonan.
"Gua nggak tau takdir akan bawa pertemuan kita ini ke arah mana Sal," batin Rony.
"Meski kita bersama disebabkan permasalahan yang rumit, entah kenapa gua berharap ada titik terbaik yang akan kita temui setelah ini, Ron," batin Salma.
***
Mobil hitam milik Rony memasuki pekarangan rumah yang belakangan ini sering Salma kunjungi. Keduanya berjalan beriringan, Rony membukakan pintu untuk Salma.
PRANKK! betapa terkejutnya Salma dan Rony saat masuk mereka justru disambut oleh suara benda keramik yang dilempar ke lantai. Disusul dengan suara teriakan dan arungan dari arah lantai dua.
Rony segera berlari untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sekaligus mencari keberadaan gadis kecilnya, Nai. Sementara Salma mengikuti langkah Rony yang terlihat cemas.
"Nai!" Seru Rony melihat gadis kecil itu sedang menunduk di sudut meja sambil menutup telinganya. Ya, gadis itu sedang ketakutan.
Salma segera berlari ke arah Nai, membawa gadis kecil itu ke dalam gendongannya. Sementara suara bising dari dalam kamar masih terdengar dengan jelas, bahkan terdengar semakin keras.
"Ron, mending lu cek ke dalem. Nai biar sama gua."
Rony mengusap punggung Nai lembut, kemudian beranjak masuk ke dalam kamar kakak iparnya.
"Den awas!" teriak wanita paruh baya saat sebuah pecahan piring tepat mengenai tangan Rony.
"Arrgh," ringis Rony memegangi tangannya yang sudah mengeluarkan darah.
"Bibik gapapa?" tanya Rony mendekati pembantunya itu.
"Nggak den, tapi nyonya susah untuk ditenangkan."
"AARRRGHH! Perempuan tidak tau diri!" teriak perempuan dengan rambut acak-acakan itu.
Teriakannya semakin kencang, benda-benda berterbangan. Ketika Rony mencoba mendekat, ia akan semakin mengamuk. Tidak ada cara lain, Rony beranjak mengambil kotak obat di dalam lemari kecil. Kemudian mengeluarkan suntik dan botol berisi cairan.
"Maafin Rony ya kak," ujar Rony menyuntikkan cairan tersebut kepada sang kakak yang masih terus memberontak dalam pelukannya.
Tidak butuh waktu lama, cairan penenang itu bereaksi. Perempuan itu tertidur di atas kasur miliknya. Melihat itu Rony merasa lega sekaligus tidak tega.
"Maaf kak, lagi-lagi gua harus lakuin ini," batin Rony lirih.
"Tolong beresin ini semua ya bik."
"Den, lebih baik hubungi pihak rumah sakit. Kondisi nyonya sepertinya semakin parah."
Rony tidak menjawab ucapan wanita paruh baya itu. Ia memilih keluar dari ruangan untuk menemui Nai dan Salma yang sepertinya sudah berada di bawah.
"Ron, gimana?" tanya Salma dengan Nai yang masih dalam gendongannya.
"Udah tenang," jawab Rony singkat. Salma dapat melihat wajah lelah laki-laki itu.
"Nai gimana?"
"Seperti yang lu liat, dia aman dan udah tidur."
"Astaga! Tangan lu berdarah!" seru Salma melihat luka di tangan Rony.
"Kena lemparan beling, gapapa cuma luka dikit," balas Rony bersandar pada sofa sambil memijit pelipisnya.
"Jangan suka nyepelein sesuatu deh." Kali ini Salma tampak kesal sekaligus marah pada Rony.
"Kotak P3K rumah ini dimana?" tanya Salma meletakkan Nai yang sudah tertidur di sofa panjang milik Rony.
"Ada di lemari dekat dapur." Salma segera pergi ke arah yang ditunjuk Rony.
Tidak butuh waktu lama, Salma kembali dengan kotak P3K ditangannya. Kemudian ia mengambil posisi duduk disamping Rony yang masih memejamkan matanya.
"Aw, sakit Sal," kata Rony sedikit berteriak dan reflek membuka matanya.
"Tahan bentar Ron. Ini kalau nggak dibersihin bisa infeksi."
"Pelan-pelan Sal," ujar Rony menggigit bibirnya menahan perih.
"Sakit kan, udah tau ini lukanya lumayan gede Ron. Lu segala bilang cuma luka dikit." Salma seperti ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya.
"Lain kali kalau luka atau sakit jangan bilang gapapa terus." Gadis itu terus berbicara namun tetap dengan telaten mengobati luka Rony.
"Bilang kalau lu lagi nggak baik-baik aja. Jujur sama diri sendiri dan orang sekitar, jangan dipendam terus."
"Gua nggak terbiasa, karena gua udah nggak punya rumah," ujar Rony membuat Salma menghentikan kegiatannya. Apa rumah yang Rony maksud adalah tempat untuk berkeluh-kesah?
"Lu punya Paul, teman dekat lu Ron."
"Kalau gua maunya lu, boleh?"
***
Love author ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terbaik | END
Teen FictionKita selalu berkata biarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Hingga tanpa sadar perjalanan itu menemukan satu titik yang sama. Mempertemukan kita yang tidak pernah saling sapa, mendekatkan kita hingga tidak ada jarak. Semua tentang mu menjad...