Garis 16: Menjadi Rumah?

4.7K 307 7
                                    

"Kalau butuh gua datang, gua disini nggak akan kemana-mana"

***

Kini Salma sudah kembali ke rumah Nabila. Rencana untuk mengajak Nai ke taman jadi tertunda akibat insiden tadi. Setelah sampai di rumah, Salma memilih langsung mandi agar pikirannya lebih tenang.

Namun, hal tersebut tampaknya tidak berpengaruh sama sekali. Kejadian di rumah Rony masih berputar di otaknya. Terutama perbincangan terakhirnya bersama Rony terus yang memenuhi pikiran Salma.

Ia tidak mengerti kenapa ia bisa bersikap seperti itu pada Rony. Salma menekan pelipisnya saat kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.

Flashback on:

"Kalau gua maunya lu, boleh?" Salma menyerngit bingung mendengar pertanyaan Rony.

Cukup lama jeda obrolan antara mereka yang hanya diisi keterdiaman keduanya. Salma tampak sedang menimang-nimang  jawaban yang dirasa paling tepat dan aman untuk ia berikan.

"Ron-"

"Lupain Sal, nggak usah dijawab."

"Jangan potong dulu Ron," ujar Salma ingin melanjutkan ucapannya.

"Gue mungkin nggak akan bisa jadi rumah lu yang dulu, Ron. Tapi kalau lu mau, lu boleh datang ke gue disaat lu ngerasa dada lu mulai sesak, pundak lu mulai berat dan pikiran lu makin ramai. Sekuat-kuatnya seorang Rony, lu tetap manusia yang butuh orang lain. Lu butuh tempat buat cerita, lu butuh berkeluh kesah. Bahkan lu butuh nangis, Ron. Jadi kalau emang lu butuh, gue disini kok Ron, nggak akan kemana-mana."

"Sal, thanks." Hanya kalimat itu yang dapat Rony ucapkan. Kini pertanyaan justru memenuhi kepala Rony. Apa benar gadis di depannya ini yang ia butuhkan?

"Kak Salma!" panggilan Nabila membuat Salma terlonjak kaget, menyadarkan Salma dari lamunannya.

"Kaget gua Nab," ujar Salma menegakkan tubuhnya.

"Lagian aku panggil-panggil nggak nyaut."

"Ada apa sih Nab?"

"Tadi paman hubungin aku, katanya kak Salma nggak angkat telpon dari beliau."

"Nggak tau ada panggilan masuk."

"Paman nitip pesan, kalau kak Salma udah pulang suruh telpon balik." Salma menghembuskan napas terlihat malas.

"Ayolah kak, mereka juga kayaknya udah kangen sama kak Salma." Gadis itu memalingkan wajahnya.

"Telpon paman ya kak," bujuk Nabila.

Salma bergerak mengambil ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Gadis itu perlahan membuka layar benda pipih itu seperti sedang mencari kontak seseorang.

Benar saja, kontak bertuliskan"Papa❤️" menjadi tujuan Salma saat ini. Dengan ragu Salma menekan kontak itu hingga tidak butuh waktu lama terdengar suara dari seberang sana.

"Assalamualaikum nduk," suara lembut yang selama ini Salma rindukan kini terdengar jelas. Salma menarik napas, menahan sesak yang disebabkan kerinduan membuncah di dadanya.

"Waalaikumsalam, mah. Mama sehat?" tanya Salma menahan tangisnya.

"Alhamdulillah sehat, Sasa sehat nak?"

"Alhamdulillah Sasa sehat dan baik-baik aja di sini mah."

"Sasa kapan pulang?" pertanyaan itu membuat bulir bening di mata Salma tidak lagi terbendung, menetes membasahi pipinya.

"Biar papa yang bicara mah!" Salma dapat mendengar suara berat itu. Ya, itu pasti suara sang papa.

"Papa sudah bilang tidak usah cari tau lebih jauh lagi."

"Sasa cuma mau buktiin kalau papa nggak bersalah. Supaya papa nggak harus sampai sakit karena mikirin hutang proyek itu." Salma sudah terisak dalam tangisnya.

Terdengar helaan napas dari seberang sana.

"Kasih Sasa waktu Pah," lirih Salma memohon.

"Maaf, karena papa kamu jadi seperti ini."

"Nggak, papa nggak salah. Kasih aku waktu ya Pah."

"Baik, berhubung ayah sama bunda memperpanjang masa menetap di Solo jadi enam bulan, kamu boleh disana sembari menemani Nabila. Kamu bisa gunakan waktu enam bulan itu untuk cari tau semuanya. Lewat dari itu, ada atau tidak ada jawaban kamu harus tetap pulang ya."

"Baik Pah," jawab Salma meski dengan berat hati.

"Ingat, papa sama mama hanya punya kamu. Papa tidak peduli perihal harta, yang penting anak dan istri papa baik-baik saja, disamping papa."

Sejak awal papa Salma tidak pernah mengizinkan gadis itu untuk kembali mencari tau masalah yang menimpa beliau. Namun, Salma termasuk anak yang keras kepala.

Ia tidak terima papa nya harus membayar hutang yang sebenarnya itu bukan salah beliau. Dan karena kejadian itu juga kehidupan Salma harus berubah, keluarganya memilih pindah kembali ke kampung halaman. Harus berjauhan dengan Salma yang saat itu tengah menyelesaikan semester akhir perkuliahannya.

Salma memutus sambungan telepon. Kemudian menghambur ke dalam pelukan Nabila. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi.

"Kak Salma," panggil Nabila mengusap punggung kakak sepupunya itu mencoba memberi ketenangan.

"Aku tau kak Salma sebenarnya kangen mereka kan." Salma mengangguk dalam pelukan Nabila.

"Kenapa kak Salma keras banget mau ngelanjutin ini?"

"Papa harus dapat keadilan, orang-orang harus tau papa nggak salah," jelas Salma.

Kejadian saat keluarganya diusir dari rumah mereka, cibiran dari orang sekitar dan rekan kerja papa. Orang-orang yang menjauh dari mereka, hingga keluarga mereka harus berjuang sendiri.

Teman-teman yang awalnya mendekat saat masa kejayaan, semuanya menghilang saat itu. Hingga sang papa yang harus membayar hutang akibat dana proyek yang ditarik.

Semuanya kembali berputar dalam ingatan Salma. Salma hanya ingin membalas semua itu dengan membuktikan bahwa papanya tidak bersalah.

"Oke, aku akan selalu dukung dan bantu kak  Salma."

"Makasih ya Nab, lu udah jadi orang yang  selalu percaya dan ada di samping gue."

"Selalu kak, aku sayang kak Salma." Kedua gadis itu saling mengeratkan pelukannya.

***

Note:

Aku senang deh part sebelumnya vote nya banyak, happy! Makasih ya semuanya 🕊️❤️🕊️

Sayang kalian 🐟❤️❤️❤️

Titik Terbaik | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang