Takdir 11: Selalu Salma

4.7K 289 10
                                    

"Dia terlalu naif untuk kenyataan pahit dari takdir yang tidak berpihak"

***

Mentari tampak mulai berangsur, beranjak meninggalkan bumi. Semburat merah mulai terlihat menghiasi langit, pertanda senja dengan segala keindahannya singgah sejenak. Yang kemudian akan digantikan oleh sang rembulan mengambil peran sang mentari.

Jika sebagian orang memilih menikmati indahnya senja di luar, maka Rony lebih memilih bergegas untuk pulang. Gadis kecil yang menjadi sumber bahagianya pasti sedang menunggu dirinya saat ini.

"Uncle pulang," seru Rony memasuki rumah yang terasa sepi namun terkadang bising.

"Nai dimana bik?" tanya Rony pada wanita paruh baya yang masih mengenakan seragam maid itu.

"Di kamar nyonya, den."

Rony segera berlalu naik ke lantai atas, karena kamar yang dimaksud adalah kamar sang kakak ipar. Pintu kamar itu tampak tertutup. Tidak seperti biasanya, hari ini gadis kecil itu datang lebih awal ke kamar sang Mama.

Rony mencoba membuka pelan pintu yang tidak terkunci itu. Bisa ia lihat dengan jelas, sosok gadis kecil yang sedang duduk di samping sang mama yang masih diam dengan tatapan kosong. Dengan genggaman keduanya yang masih tertaut. Rony bisa mendengar obrolan yang berlangsung di dalam sana.

"Ma, Nai mau main sama mama," ujar gadis kecil itu menatap wanita di sampingnya meski tidak ada balasan.

"Mama tau, minggu ini papa belum kirim surat untuk Nai." Perkataan Nai membuat Rony merasa bersalah. Belakangan ini ia terlalu sibuk hingga lupa mengirimkan surat untuk gadis kecil itu.

"Kapan ya mama bisa masakin bekal buat Nai, pakaikan seragam dan antar Nai ke sekolah." Nai terdiam sejenak mengusap pipi mamanya dengan lembut.

"Kasihan uncle ma, pasti capek harus antar Nai sebelum kerja." Sakit, itulah yang Rony rasakan saat mendengar ucapan Nai. Gadis kecil itu ternyata mengkhawatirkan dirinya.

"Uncle yang siapkan semua keperluan Nai, uncle yang antar jemput Nai ke sekolah. Uncle yang ambil surat Nai dari papa ke kantor pos, uncle juga yang jemput kue unicorn dari onty Sal."

"Uncle hebat, bisa ngelakuin banyak hal buat Nai."

Rony menghembuskan napasnya. Laki-laki itu mengusap wajahnya frustasi. Perasaannya campur aduk melihat malaikat kecil yang ia sayangi harus mengalami hal pahit seperti ini.

Jika Rony bisa meminta maka biarkan Rony yang berada di posisi itu. Biarkan Nai menghabiskan masa kecilnya dengan kehadiran sang mama dan papa.

"Tapi mama juga hebat kok. Ma, uncle bilang mama sakit jadi nggak bisa kayak mama teman-teman Nai yang lain." Ternyata obrolan satu arah itu masih berlanjut.

"Nai tidak apa-apa ma. Selama mama masih di sini sama Nai, Nai udah senang sekali," ujar gadis kecil itu tersenyum tulus.

"Nanti kalau Nai sudah besar seperti uncle, Nai akan kerja dan cari banyak uang. Jadi, papa nggak perlu kerja di luar negeri lagi, bisa bareng kita di sini."

Oh tuhan, Rony sudah tidak sanggup mendengar setiap kalimat yang diutarakan Nai. Gadis kecil itu terlalu naif untuk kenyataan pahit dari takdir yang tidak berpihak pada dirinya. Tidak mau obrolan itu berlanjut, Rony memilih masuk.

"Uncle pulang kok nggak ada yang nyambut ya," perkataan Rony mengambil alih perhatian Nai.

"Yeay, uncle udah pulang." Sebisa mungkin Rony tidak menunjukkan kekacauan yang terjadi pada dirinya di depan Nai.

"Kok uncle nggak disambut sih?" tanya Rony membawa Nai ke dalam gendongannya.

"Maaf ya uncle, Nai nggak dengar uncle pulang karena lagi cerita sama mama."

"Yaudah gapapa, temenin uncle makan malam mau?" Nai mengangguk dengan semangat.

"Kak, Nai aku bawa dulu ya. Selamat istirahat kak," ujar Rony meskipun ia tau ucapannya tidak akan mendapatkan jawaban dari wanita itu.

Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Rony turun untuk menyusul Nai yang sudah ada di meja makan. Hanya ada dua kursi yang terisi dari enam kursi yang selalu ia sediakan. Harusnya semua kursi itu lengkap tanpa kosong satu pun. Meski Rony tidak tau kapan waktu itu akan datang, ia yakin kursi itu akan terisi penuh seperti dulu.

"Kok nggak nungguin uncle sih. Sini uncle suapin," Rony menarik piring milik Nai.

"Nggak uncle," balas Nai menggeleng.

"Nai sudah besar, bisa sendiri," sambung Nai mengambil kembali piring miliknya.

"Udah nggak mau dibantu uncle ya sekarang." Rony mengusap puncak kepala Nai dengan lembut.

Anak kecil yang dulu selalu ia gendong dan akan menangis saat ia tinggal sudah bertumbuh.

"Ini Nai ambilin nasi buat uncle juga. Untuk lauknya uncle pilih sendiri ya, hehehe."

"Pinter banget sih anak cantik ini."

Setelah selesai makan, Rony mengantar Nai untuk tidur. Setelah memastikan gadis kecilnya itu bisa tidur dengan nyaman Rony beranjak menuju kamarnya.

Di sinilah ia sekarang, di kamar monokrom miliknya. Berbaring dengan kedua tangan dibelakang kepala sebagai bantal. Menatap langit-langit kamar dengan menewarang. Pikirannya kini sedang berkelana jauh meninggalkan raganya.

"Pulang bang, anak lu udah gede," lirih Rony.

Cukup lama diam membiarkan pikirannya yang berisik, Rony tiba-tiba teringat sosok Salma. Gadis itu yang tiba-tiba saja terbesit dalam pikiran Rony.

Laki-laki itu beranjak mengambil ponsel miliknya. Ia berusaha mencari kontak yang beberapa hari lalu pernah ia hubungi. Rony berniat mengirim pesan pada kontak tersebut.

Salmin

Besok bisa datang ke rumah?
22.58
Sekalian bawain kue unicorn untuk Nai. Kata Nabila, besok kuenya udah siap.
22.59

Padahal blum gua jawab
23.00

Rony tersenyum kemudian tidak lagi membalas pesan Salma. Ia memilih untuk tidur, karena esok hari akan kembali menjadi badut dalam menjalani kehidupan ini.

***

💕❤️❤️❤️

Titik Terbaik | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang