Air mata itu kembali menetes, rasa sesak itu kembali menyerang. Saat melihat sosok yang dicintai untuk terakhir kalinya. Itulah yang Salma alami saat ini, mengantarkan Rony ke peristirahatan terakhir.
Salma menatap gundukan tanah di depannya. Tanah yang masih basah seperti luka pada hatinya saat ini. Dengan air mata yang terus menetes Salma menabur bunga.
Perlahan orang-orang beranjak pergi, karena acara pemakaman sudah selesai. Kini hanya tinggal Salma dan Nai yang memilih tetap tinggal.
"Onty," panggil Nai mengusap pipi Salma yang dibasahi air mata tanpa henti.
"Nai," lirih Salma balas mengusap bulir bening di pipi gadis kecil itu
"Kita di sini nungguin uncle untuk pulang kan onty?" tanya gadis kecil itu dengan tatapan nanar.
Salma menggeleng dalam tangisnya.
"Uncle nggak bisa pulang sama kita lagi," jelas Salma melukai hatinya sendiri."Kenapa semuanya kembali tapi uncle harus pergi. Apa Nai harus suruh mereka pergi lagi supaya uncle kembali," protes gadis kecil itu marah dalam tangisnya.
Hanya pada Salma ia berani meluapkan semuanya. Selama proses pemakaman, Nai hanya diam dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Uncle yang selama ini nggak pernah ninggalin Nai. Uncle yang selalu ajak Nai ke tempat yang Nai suka. Uncle yang selalu nemenin Nai tiup lilin. Semuanya pasti ada uncle."
"Kenapa sekarang harus pergi?" Salma menutup mulutnya, menangis tanpa suara dengan satu tangan membawa Nai ke dalam pelukannya.
Nai tetaplah seorang anak kecil yang belum bisa mengerti kenapa semua ini harus terjadi. Meski telah banyak kehilangan yang ia lalui, Nai tetaplah gadis kecil yang tidak mengerti kenapa tidak ada yang bisa bener-bener menetap di dunia ini.
Salma menatap Nai dalam tangisnya. Berat memang untuk sebuah kehilangan, namun takdir tidak bisa diubah apalagi dihindari. Semua yang dipertemukan pada akhirnya akan berpisah.
"Nai harus kuat," ujar Salma pada Nai yang sebenarnya juga untuk dirinya sendiri.
"Sebenarnya uncle nggak kemana-mana. Uncle ada di sini, di dalam hati Nai."
"Nggak, Nai mau uncle di sini, disamping Nai. Kumpul sama Nai dan onty, kita main bertiga lagi, kita jajan bertiga lagi. Nai masih mau tidur didongengin uncle, hiks."
Salma memeluk Nai dengan erat, berharap pelukannya bisa membuat Nai lebih tenang. Jika Salma menenangkan Nai, maka siapa yang bisa menenangkan Salma. Rony, biasanya laki-laki itu, tapi tidak dengan sekarang.
"Ron, kamu lihat? Aku bingung harus gimana. Aku mau Nai kuat, tapi aku sendiri rapuh. Aku mau Nai berhenti bersedih, tapi aku sendiri hampir frustasi," ujar Salma dalam hatinya.
Salma membiarkan gadis kecil itu menangis dalam pelukannya. Nai menangis dengan suara sementara Salma menangis dalam diamnya. Hingga gadis kecil itu tertidur akibat kelelahan.
"Maaf aku nggak pernah minta kamu untuk jangan pergi dari hidup aku seperti yang selalu kamu lakukan ke aku," ucap Salma memegangi tanah basah di depannya seolah itu adalah tubuh Rony yang bisa ia sentuh.
"Meski begitu bukan berarti aku bisa kamu tinggal secepat ini Ron," jelas Salma dalam tangisnya.
"Ada banyak rencana indah yang udah aku susun untuk kita. Ke pasar malam sama Nai, jalan-jalan ke luar kota sama Nai. Beli baju couple sama Nai, cobain es krim kesukaan Nai yang cuma ada di tempat tinggal kamu dulu."
"Ada banyak kebahagiaan yang harus aku rasain bareng kamu. Aku masih mau kamu ada di sini, Ron, hiks."
"Ternyata sakit Ron, semuanya seperti hancur berkeping-keping."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terbaik | END
Ficção AdolescenteKita selalu berkata biarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Hingga tanpa sadar perjalanan itu menemukan satu titik yang sama. Mempertemukan kita yang tidak pernah saling sapa, mendekatkan kita hingga tidak ada jarak. Semua tentang mu menjad...