"Mau mampir dulu? Ada Paul juga kayaknya."Kini Salma dan Rony sudah sampai di rumah Nabila. Seperti yang sudah dikatakan Rony, mereka memilih menghentikan pencarian untuk hari ini. Selain Rony yang khawatir dengan kondisi Salma juga karena hari yang sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Mereka tidak mungkin bertamu malam-malam seperti ini.
"Boleh?" tanya Rony.
"Kalau nggak boleh ya nggak gua tawarin dong Ronytidin," jawab Salma gemas.
"Lu pikir gua obat, Ronytidin."
"Itu ranitidin, ya Allah pinter ngelucu juga ya lu." Rony hanya tertawa melihat respon Salma.
"Loh, loh ini nih pelakunya," ujar Paul menunjuk Salma dan Rony.
"Apaan? Baru dateng udah dituduh gini. Pelaku apaan sih?" tanya Salma kesal.
Sudah tau gadis itu sumbunya pendek plus kesabarannya hanya setipis tisu yang dibagi seratus jika berhadapan dengan Paul.
"Kalian sudah menelantarkan anak kecil."
"Lu sekali lagi ngomong nggak jelas, gua tabok beneran ya Powl."
"Nai nyariin kalian, perginya lama banget."
"Kok lu bisa tau?"
"Gua tadi ke rumah lu, Ron. Rencananya mau ajak lu ke toko Nabila. Ternyata lu nya nggak ada, kata Nai lu bakal pulang telat karena mau pergi sama Salma. Eh, anaknya malah ngotot ikut gua mau susulin lu berdua."
"Terus sekarang Nai dimana?"
"Ada di kamar sama Nabila, ketiduran dia."
"Biar gua yang cek, Ron." Salma segera menuju kamarnya dan Nabila.
"Habis dari mana lu?" tanya Paul sembari menunggu Salma kembali.
"Nyari Kania," jawab Rony singkat.
"Ooh, nyari dia ternyata. Tadi gua tanya ke Nabila dia nggak tau kalian kemana."
"Iya, tadi Salma cuma izin pergi aja nggak bilang kalau mau cari Kania."
"Gimana Ron?"
"Belum ketemu."
"Bukan, maksud gua Salma gimana?" Rony menatap Paul dengan kening berkerut.
"Gimana apa sih ul?"
"Ya ada sesuatu yang lu rasain nggak?"
"Apaan sih nih anak, nggak jelas lu ul," jawab Rony menggetok kepala Paul.
"Masih bego ternyata masalah ginian," gumam Paul yang terdengar samar oleh Rony, tapi laki-laki itu memilih tidak menggubris.
"Nai tidurnya udah pules banget, Ron.", Kata Salma datang dengan Nai yang di puk puk dalam gendongannya agar gadis kecil itu tidak terbangun.
"Habis main sama aku jadi ketiduran," sambung Nabila.
"Sini," Rony mengambil alih Nai dari gendongan Salma dengan hati-hati.
"Kasian sayangnya aunty kecapean ya nungguin uncle nya," kata Salma berbicara pada Nai yang jelas-jelas masih tertidur.
Salma mengusap puncak kepala gadis kecil itu dengan sayang, diselipkannya anak rambut Nai yang menggangu ke belakang telinga gadis kecil itu. Kemudian diusapnya pipi Nai dengan lembut dan penuh kasih sayang. Perlakuan Salma tentu saja membuat Rony tersenyum.
"Kalau gitu gua pamitan ya."
"Gua juga pamit deh, udah malem nggak enak diliat tetangga," sambung Paul.
"Yaudah hati-hati ya, Ron." Cup! Salma mengecup pipi Nai membuat gadis kecil itu sedikit menggeliat.
"Uncle nya nggak dicium?" bisik Paul berniat menggoda Salma. Sementara Salma sudah menatap Paul dengan tatapan tajam seperti ingin menerkam dirinya hidup-hidup.
"Nab, aku pulang dulu ya," pamit Paul kemudian segera berlari meninggalkan Salma yang sudah siap memberikan amukan pada dirinya.
"PAUL AWAS YA LU BESOK!" teriak Salma meluapkan kekesalannya. Untung saja Rony sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Jika tidak, suara teriakan Salma akan membangunkan Nai.
"Suka banget ngisengin Salma," kata Rony dari dalam mobilnya.
"Hehehe, maaf Ron," balas Paul sebelum Rony melajukan mobilnya.
"Lah si anying, kenapa gua minta maaf ke Rony," ujar Paul merutuki dirinya sendiri
***
"Hah! akhirnya bisa rebahan."
Salma akhirnya bisa menikmati kasur empuk miliknya. Setelah bersih-bersih adalah waktu yang menyenangkan untuk tidur. Setelah melewati hari yang cukup melelahkan.
"Sibuk banget kayaknya seharian ini kak," ujar Nabila yang berada di samping Salma.
"Iya Nab, tadi di kantor lumayan banyak kerjaan. Pulang kantor juga langsung nyari alamat Kania."
"Jadi kak Salma nyari alamat Kania, terus gimana? Ketemu kak?" Salma menggeleng sebagai jawaban.
"Belum, dia udah pindah."
"Yah, trus gimana kak?"
"Tapi kita udah dapat alamat barunya."
"Alhamdulillah," Nabila bisa bernapas lega mendengar ucapan Salma.
"Sebenarnya tadi mau langsung datengin alamat itu. Tapi Rony malah bilang besok aja."
"Kenapa kak?"
"Katanya sih khawatir gua kecapean soalnya tadi udah mulai pucet, hehehe.",
"Ih, kak Salma pasti telat makan lagi. Untung aja asam lambungnya nggak kumat itu."
"Nggak sengaja Nab," balas Salma menyengir.
"Eh, kak Rony perhatian juga ya sama kak Salma. Tanda-tanda ini mah," lanjut Nabila tiba-tiba mengganti topik. Gadis itu menopang dagu dan memainkan telunjuk di dagunya seperti sedang berpikir.
"Mulai nih otaknya mikir yang aneh-aneh. Lagian tanda apa sih Nab? Tanda-tanda mau datang bulan?"
"Ih kak Sal, bukan itu."
"Udah Nab, mending turu." Salma tidak lagi menggubris Nabila. Ia memilih menarik selimut dan berlayar ke pulau mimpi. Nabila dengan pasrah hanya bisa mengikuti kakak sepupunya itu untuk tidur.
***
Setelah memastikan Nai tidur dengan tenang, Rony beranjak menuju kamar miliknya. Rony merebahkan tubuhnya dengan kedua tangan sebagai bantal sembari menatap bingkai foto ditangannya. Dalam bingkai itu terdapat sosok yang amat Rony cintai. Ya, itu adalah foto kedua orangtua Rony.
"Rony kangen ma," ada kerinduan yang mendalam dalam lirihan suara Rony.
"Rony mau kita yang dulu. Kita yang lengkap tanpa ada yang pergi atau berpisah."
Rony menarik napas dalam kemudian menghembuskannya dengan pelan. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menangkan diri disetiap malam. Hanya itu yang bisa Rony lakukan setiap menghadapi malam yang dibalut kerinduan mendalam akan kehangatan keluarganya yang dulu. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berharap semuanya akan kembali baik-baik saja.
***
*Sampai lupa mau masukin foto mereka
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Terbaik | END
Teen FictionKita selalu berkata biarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Hingga tanpa sadar perjalanan itu menemukan satu titik yang sama. Mempertemukan kita yang tidak pernah saling sapa, mendekatkan kita hingga tidak ada jarak. Semua tentang mu menjad...