Kilas XLVII: "Sebuah Sifat"

56 13 2
                                    

"Ha... zelle?"

"Iya."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"..."

"Uhm, Mo-Morey?"

Untuk kesekian kalinya.

Sebenarnya Hazelle lumayan bertanya-tanya. Mengapa sosok Morey yang ia temui dalam identitas aslinya ini, jadi lebih suka terdiam secara mendadak di hadapannya, penuh dengan bias dari manik obsidiannya yang tak mampu Hazelle terjemahkan apa maksudnya.

Maka dari itu.

Hazelle yang merasa cemas dengan kondisi sang sahabat yang tidak bisa dikategorikan seperti biasanya itu. Sontak mendaratkan jemarinya yang sempat dipijat lembut oleh Morey untuk menepuk pipi sang sahabat begitu perlahan. Dengan harapan bila perilakunya itu mampu segera menyadarkan Morey dari apapun itu yang sedang membelenggu benaknya saat ini.

"Morey? Hei?"

"A-Ah? Oh!"

Beruntungnya.

Usaha dari Hazelle tersebut mampu membuahkan hasil sesuai harapan. Terbukti dari Morey yang terlonjak kecil seketika di hadapannya. Berbekal manik obsidiannya yang langsung bergerilya ke arah lain. Pokoknya kemanapun itu asal tidak lagi bertemu pandang dengan Hazelle yang sudah tidak sanggup lagi menahan senyum gelinya. Saking merasa gemasnya ia pada Morey yang entah mengapa terkesan sedang salah tingkah di matanya.

"I-Iya, H-H-Hazelle?"

"Hanya perasaanku saja..." balas Hazelle masih dengan senyum geli yang menghiasi bibirnya. "...atau kau ini memang suka sekali tiba-tiba melamun ya?" lanjutnya bertanya entah mengapa kini berbekal eskpresi usil yang terpatri di wajahnya. "Jangan-jangan... apa aku memang semembosankan itu sampai kau—"

"Ti-Tidak! Tentu saja tidak!"

Tak sekadar memotong ucapan Hazelle dengan begitu sigapnya. Tanpa sadar Morey bahkan sampai menggenggam jemari Hazelle yang masih singgah di sisi wajahnya.

"Namamu! Aku hanya merasa namamu adalah nama terindah yang pernah aku dengar! Jadi—"

"..."

"..."

"..."

"..."

Astaga...

Secepat Morey menghentikan ucapannya sendiri, akibat kesadaran yang menghantam benaknya, tentang mulut tak terkontrol miliknya yang justru malah mengatakan hal terlampau jujur pada Hazelle. Secepat itu pula telapak tangan Morey segera menutupi wajahnya sendiri. Berharap dengan itu, segala rona merah akibat rasa malu yang sedang membelenggu dirinya, tak begitu mampu terlihat oleh Hazelle.

Hazelle, yang kini sedang mati-matian agar tak melukai pipi bagian dalamnya sendiri dengan sebuah gigitan. Saking merasa gemasnya ia pada tingkah lugu dari Morey yang bahkan tetap saja muncul. Di saat pada kenyataannya bila Morey baru saja bertemu dengan identitas aslinya sebagai Hazelle. Yangmana secara otomatis hal tersebut juga bisa dikatakan, jika Morey sedang berbincang dengan orang yang tergolong asing di hidupnya.

Soul: Atlantis & LemuriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang