Bab 4 : Hukuman.

362K 16.8K 310
                                    

Di ndalem, seorang lelaki pemilik rahang tegas, hidung mancung, serta tinggi badan proposional mulai melangkah keluar kamar menuju masjid

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di ndalem, seorang lelaki pemilik rahang tegas, hidung mancung, serta tinggi badan proposional mulai melangkah keluar kamar menuju masjid. Dengan setelan jubah putih dan sebuah peci yang ia kenakan, membuat aura keshalehan terpancar jelas. Ditambah wajahnya yang masih basah akibat air wudhu, pun dengan sajadah yang ia sampirkan di bahu sebelah kanan. Sangat menawan!

"Cie! Yang istrinya udah ada di sini, tambah ganteng aja." Suara itu terdengar dari Kafka yang tidak sengaja berpas-pasan dengan sang kakak di ruang depan.

Lelaki itu hanya melirik tanpa berniat menjawab. Ia memang mengetahui sang istri yang sudah datang ketika ia berada di kampus. Jadi, ia belum sempat bertemu dengan gadis yang sudah sah menjadi istrinya satu bulan yang lalu.

"Kapan akan menemui istri mas?" Lagi, Kafka mengimbangi langkah sang kakak. "Lagian mas ada aja, istrinya datang bukannya disambut malah kerja."

"Urgent. Nggak bisa ditinggal." Hanya itu yang Rayyan katakan, lelaki itu memang sangat irit berbicara.

Langkahnya kian melebar, Kafka yang melihat itu terus mengekorinya. "Memangnya mas udah tau istri mas yang mana?"

Hening.

Rayyan abai. Namun, langkahnya terhenti seketika begitu mendengar ucapan Kafka detik berikutnya. Ia menoleh pada sang adik dengan tatapan tajam.

"Kamu bilang apa barusan?"

Kafka yang melihat tatapan tajam itu hanya menyengir pelan, padahal ia hanya mengatakan yang sejujurnya kalau kakak iparnya itu sangat cantik dan jika Rayyan tidak mau, maka dirinya siap untuk menggantikan. Gesrek memang!

"Hehe! Bercanda, Mas. Itu mata udah mau copot aja dari tempatnya," balas Kafka dengan cengiran khasnya.

Tanpa menjawab, Rayyan melanjutkan langkahnya keluar ndalem. Sedang, Kafka menggeleng pelan melihat kakaknya yang sepertinya tidak memiliki ekspresi apapun.

"Sepertinya, suami istri itu memiliki sikap yang sangat bertolakbelakang," gumam Kafka sebelum akhirnya menyusul sang kakak dari belakang.

***

"UDAH SELESAI GHIBAHNYA?!" pekik seseorang dengan penuh penekanan, membuat langkah kedua gadis itu terhenti di tempat begitu saja.

"KENAPA KALIAN TELAT?" Seorang ustadzah yang baru saja mereka bicarakan kembali menyerukan suara lantang.

"Buset, dah! Lebih parah dari gue ini, mah," lirih Ayra yang hanya bisa didengar diri sendiri.

"Kenapa diam?" tanya Salwa seraya mengetuk-ngetuk rotan yang ia pegang pada lantai.

"Eh, hehe! Ustadzah jangan galak-galak, dong. Yang ada santri baru di samping saya nggak betah terus minta pulang," balas Adel, gadis itu mulai membuka suara untuk membela teman barunya.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang