Bab 52 : Cemburunya Rayyan.

250K 12.6K 639
                                    

Di ndalem, Adel yang baru saja menyelesaikan setorannya pada Umma tak sengaja melihat Kafka yang tengah berkutat dengan kitab-kitabnya di ruang keluarga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di ndalem, Adel yang baru saja menyelesaikan setorannya pada Umma tak sengaja melihat Kafka yang tengah berkutat dengan kitab-kitabnya di ruang keluarga. Terbesit rasa kagum melihat lelaki itu yang menjadi lebih pendiam dari biasanya sejak Rayyan belum juga kembali ke pesantren. Kafka berubah menjadi pribadi yang lebih tegas dan berwibawa.

Hanya beberapa saat, Adel memilih pergi sebelum Kafka menyadari keberadaannya. Namun, suara Kafka lebih dulu terdenger, membuat niat Adel urung seketika.

"Mbak, ngapain di situ?"

Adel gelagapan mendengar pertanyaan tersebut, ia berdehem sejenak untuk menghilangkan kegugupannya sebelum akhirnya menjawab ucapan Kafka.

"Afwan, Gus. Saya cuma nggak sengaja berhenti di sini, hehe," balas Adel diakhiri kekehan di ujung kalimat. 

"Gus lagi belajar kitab apa? Kayaknya serius banget dari tadi," sambung Adel, mencoba menghilangkan kecanggungan yang ada.

Kafka mengernyitkan dahinya, dalam hati bertanya-tanya kenapa teman kakak iparnya itu berubah menjadi lebih tenang, padahal sebelum-sebelumnya hampir setiap bertemu keduanya selalu berdebat.

Mengenyahkan pikiran, Kafka menunjukkan beberapa kitab yang sedang ia pelajari pada gadis itu.

Adel terbelalak, ia menggaruk keningnya yang tidak gatal ketika melihat beberapa kitab yang Kafka tunjukkan.

"Kayaknya Antum udah siap banget buat nikah, ya, Gus?" tanya Adel. Bagaimana tidak? Semua kitab yang Kafka pelajari adalah Fathul Izar, Fathul Mu'in, Qurrotul 'uyun, Fathul Wahab dan Fathul Qorib.

"Sepertinya iya dan juga tidak."

"Iya dan tidak, jawaban mana yang benar?" tanya Adel, ia masih setia berdiri di ambang pintu.

"Ya, itu jawabannya. Iya, karena nikah itu adalah ibadah. Tidak, karena saya belum mendapatkan izin dari kedua orang tua dan kakak saya."

"Berarti udah ada calonnya?" tanya Adel, penasaran.

"Itu yang jadi pokok permasalahannya," lirih Kafka. Sedang, Adel menahan tawanya mendengar itu.

"Tapi kitab-kitab itu membuat saya yakin jika sebenarnya Antum itu udah nggak sabar buat nikah. Bahkan, mungkin udah banyak kitab yang udah antum hafal, kan, Gus? Niatnya mau punya anak berapa nanti? Satu atau dua anak cukup?" celetuk Adel, seolah berbicara dengan temannya sendiri.

"Saya bahkan udah belain belajar semua kitab ini, terus mbak bilang satu atau dua anak cukup?"

***

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang