"M-mas," cicit Kafka melihat sang kakak mendekat. Ia langsung berpindah posisi untuk menyembunyikan Ayra di belakangnya.
"Kita nggak ngapa-ngapain, kok, Mas, biasa santri putri melanggar aturan," balas Kafka menahan kegugupannya.
Rayyan menatap Kafka penuh selidik.
"Terus dengan bebas kamu berduaan dengan yang bukan mahram kamu?!"Ayra yang mendengar itu menunduk dalam dengan mata terpejam. Suara tegas itu seolah bom yang akan meledak kapan saja. Ia kembali berpikir, hukumannya saja belum ia selesaikan, masa mau dihukum lagi?
"Bukan gitu, Mas, tapi—"
"Tapi apa? Katakan dengan jelas atau kamu juga mas hukum?" potong Rayyan.
Kafka yang mendengar itu bergidik ngeri, kakaknya itu tidak mengenal darah jika menghukum seseorang, mau tak mau ia bergeser memperlihatkan Ayra yang ada di belakangnya.
"Maaf," lirih Kafka seraya menunduk.
"Ya Allah," gumam Rayyan terkejut melihat sang istri yang sedang menjalani hukuman.
"Siapa lagi tuh yang dihukum?"
"Wih, cantik maasyaAllah."
"Hus! Mulutnya kebiasaan."
"Lumayan cuci mata."
Seolah tidak melihat keberadaan Rayyan, itulah pekikan beberapa santri putra yang tidak bisa menjaga pandangan ketika hendak menuju masjid. Dan itu membuat Rayyan geram, siapa mereka berani memuji istrinya?
"GADHUL BASHAR! Tundukkan pandangan kalian!" tegas Rayyan dengan rahang yang mengeras. Semua santri yang mendengar itu sontak menundukkan pandangannya kembali dan bergegas menuju masjid.
Dengan amarah yang masih memuncak, Rayyan mencoba mengatur napasnya perlahan. Sedetik kemudian ia menatap Ayra yang justru tengah menatapnya tersenyum tanpa beban.
"Kalau sama mereka nggak papa galak, Gus. Tapi kalau sama saya jangan, ya? Nggak boleh galak-galak sama calon istri," ujar Ayra dengan percaya dirinya, ia berharap agar Rayyan tidak memberikan hukuman untuk yang kesekian kali.
"Udah adzan, kamu atur pihak keamanan untuk semua santri segera berangkat ke masjid," perintah Rayyan pada Kafka dengan mengabaikan ucapan Ayra. Calon istri dari mana? Jelas-jelas ia sudah sah menjadi istrinya.
"Iya, Mas, Kafka pamit, assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Mbak Ayra, cayoo!" Kafka mengangkat satu tangannya tanda semangat pada Ayra sebelum akhirnya melangkah pergi.
Ayra yang melihat itu meringis pelan, ia sangat paham jika berurusan dengan Rayyan pasti akan sangat rumit. Sekarang ia paham kenapa semua santri akan sangat patuh jika Rayyan sudah angkat bicara, karena aura yang lelaki itu miliki tidak main-main, tidak seperti dirinya yang awur-awuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIBLAT CINTA
General FictionBagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan percintaan. Mengisahkan tentang Ayrania yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren karena paksaan dar...