Bab 24 : Rumah Kita.

338K 16.2K 518
                                    

"Mas manggil aku?" tanya Ayra di dalam dekapan Rayyan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas manggil aku?" tanya Ayra di dalam dekapan Rayyan. Ia berusaha mengurai pelukan tersebut tapi gagal karena Rayyan tak mengizinkan hal itu terjadi.

Tanpa aba-aba, sebelah tangan Rayyan terulur ke bawah lipatan kaki sang istri dan mengangkat gadis itu ala bridal style.

Ayra memekik kaget. Tanpa sadar, gadis itu melingkarian kedua tangannya pada leher Rayyan. "Mas ngapain?"

"Ayo ikut Mas," kata Rayyan dengan mengabaikan pertanyaan Ayra sebelumnya.

"Aku bisa jalan sendiri, Mas," balas Ayra, meminta Rayyan untuk menurunkannya detik itu juga. Namun, nihil. Rayyan tak mengindahkan ucapannya dengan terus berjalan ke belakang.

"Mau ke mana?" tanya Ayra dengan sedikit mendongak menatap mata teduh milik sang suami.

Merasa diperhatikan, Rayyan menundukkan pandangan sesaat hingga kedua mata mereka saling beradu tatap.

"Ke rumah kita."

Ayra tak bertanya lebih jauh, ia tetap anteng di dalam gendongan tersebut. Tak lama, mereka telah sampai di depan sebuah pintu yang terletak di belakang ndalem.

Netra Ayra memindai ke sekitar tempat. "Ini rumah siapa?"

"Rumah kita, Ay."

Dahi Ayra berkerut dalam. "Rumah kita itu maksudnya gimana, Mas?"

"Rumah ini milik Mas dan itu artinya rumah ini milik kamu juga, jadilah rumah kita."

"Tapi, kok, aku nggak pernah lihat rumah ini?"

"Rumahnya cuma ada dua jalur, Sayang. Jalur satu dari asrama putra dan jalur dua dari belakang ndalem."

Ayra mengangguk paham. "Jadi, ini pintu belakang?"

"Iya, karena kalau lewat depan pasti masih banyak santri yang lewat dan Mas nggak mau kalau kamu dilihatin banyak ikhwan."

"Ikhwan?" beo Ayra.

"Ikhwan itu bentuk jamak dari kata akhi yang memiliki arti saudara laki-laki atau muslim laki-laki. Sedangkan ikhwan sendiri bentuk jamak yang artinya lebih dari satu orang. Misalnya semua santri putra di sini. Nah, itu bisa disebut dengan ikhwan."

"Berarti intinya, Mas nggak mau kalau aku dilihatin sama banyaknya santri putra, gitu?" balas Ayra yang langsung mengerti penjelasan dari Rayyan.

"Pintar, seratus buat kamu." Rayyan menjeda ucapannya. "Sayang, tolong ambilkan kunci rumah di saku kemeja Mas," perintah Rayyan.

Dengan ragu, Ayra pun mengambil kunci yang berada di saku kemeja sang suami. "Ini?"

"Iya, Ay. Tolong bukain pintunya."

"Turunin aku dulu," kata Ayra yang diberi gelengan oleh Rayyan.

"Buka aja, kamu tetap Mas gendong."

Oke, Ayra tidak akan lagi mendebat perintah suaminya itu. Dengan tetap di posisi yang sama walau sedikit kesulitan, pintu itu akhirnya berhasil terbuka.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang