Bab 46 : Rumah Sakit.

278K 14.1K 773
                                    

Sesampainya di rumah sakit, Ayra bergegas menuju ruang ICU tempat di mana Rayyan berada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di rumah sakit, Ayra bergegas menuju ruang ICU tempat di mana Rayyan berada. Tepat di depan ruangan, ia melihat Devan seorang diri yang tengah duduk di kursi tunggu dengan mata terpejam.

"Dev, gimana keadaan Mas Ray? Dia baik-baik aja, kan?" Ayra memberondong pertanyan dengan tak sabaran.

Mendengar suara itu, Devan membuka mata perlahan seraya menggeleng, kedua tangannya masih bersedekap di depan dada. "Dokter bilang, suami lo koma."

Deg! Kaki Ayra kembali terkulai lemas di sana, air mata itu kembali melaju bahkan jauh lebih deras dari sebelumnya.

Ditatapnya ruangan Rayyan, Ayra yang hendak melangkah ke sana ia urungkan ketika Devan menarik lengannya.

"Lo nggak bisa masuk sekarang."

"Gue mau masuk, Dev. Gue..., mau nemenin suami gue di dalam," balas Ayra di sela isakan.

"Untuk saat ini belum bisa, Ra. Dokter bilang tunggu sebentar lagi. Masuk ke sana juga harus ada jamnya. Jadi, nggak semua orang bebas masuk ke sana."

Tangis Ayra kembali pecah.

"Tapi gue mau nemenin Mas Ray, Dev." Ayra kembali mengalihkan tatapannya pada pintu ruang ICU. "Ini salah gue, coba kalau gue gak gegabah," lirih Ayra yang masih bisa didengar Devan.

"Semuanya udah terlambat," lirih Devan yang didengar Andre.

"Udah, Dev. Jangan bikin Ayra tambah merasa bersalah atas semua ini." ujar Andre menimpali. "Mau bagaimanapun, ini semua musibah. Nggak ada siapapun yang pantas disalahkan di sini. Begitu juga Ayra, usianya masih sangat muda untuk bisa mengarungi permasalahan rumah tangga. Dia nggak salah."

Devan terdiam, memang benar apa yang Andre katakan bahwa Ayra masih terlalu dini untuk memulai kehidupan rumah tangga. Dan—semua itu tentu akan mempengaruhi jalan pikirannya untuk bertindak.

Sedang, Bima berusaha menenangkan Ayra dengan mengusap bahu gadis itu dengan pelan.

"Lo bukan mahram gue, Bim." Ayra menepis tangan Bima yang bersarang di bahu. Sedetik berikutnya ia beralih menatap Devan.

"Lo bener, Dev. Gue nggak seharusnya kabur kayak anak kecil." Ayra menghapus sisa air matanya.

"Itu maksud gue, jangan pernah lari dari masalah apapun karena itu nggak akan bikin masalah itu selesai." Devan menjeda ucapannya. "Apapun itu, semua udah menjadi ketetapan yang kuasa, tugas kita sekarang adalah berdoa untuk kesembuhan suami lo."

Belum cukup sampai di sana, Devan kembali membuka suara. "Ini hape lo, kan? Kabarin keluarga lo dan suami lo dulu, mereka pasti khawatir." Devan memberikan ponsel yang salah satu warga berikan yang ia yakini itu milik Ayra.

***

Pesantren dihebohkan dengan berita yang menimpa Rayyan, terlebih umma yang begitu shock mendengar kabar mengejutkan tentang putra sulungnya.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang