Bab 43 : Perubahan Sikap.

248K 13.5K 610
                                    

Tepat pukul sepuluh pagi, Ayra memutuskan untuk menemui Rayyan di kampus karena tak sengaja melihat ponsel sang suami yang masih tergeletak di atas nakas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tepat pukul sepuluh pagi, Ayra memutuskan untuk menemui Rayyan di kampus karena tak sengaja melihat ponsel sang suami yang masih tergeletak di atas nakas.

Meski awalnya tidak mendapat izin dari Umma dengan alasan dirinya yang tengah hamil, Ayra tetap kekeuh memaksa dengan alasan bahwa itu adalah kemauan sang buah hati. Hingga pada akhirnya Umma mengizinkan dengan syarat Umma turut menemani Ayra dan akan diantar oleh Kafka.

Di sepanjang jalan, bibir Ayra tak berhenti tersenyum seraya menatap pepohonan yang menurutnya masih sangat asri dibandingkan dengan kotanya yang sudah padat dengan bangunan-bangunan kokoh yang tinggi menjulang.

Ada lenggang beberapa saat, roda mobil yang mereka tumpangi itu berhenti tepat di depan sebuah gerbang universitas.

Ayra meminta umma dan sang adik ipar untuk tetap menunggu di mobil mengingat Ayra tidak akan berlama-lama di sini.

Berjalan memasuki gerbang, lagi dan lagi Ayra berdecak kagum melihat bangunan megah kampus tempat Rayyan mengajar sampai ia lupa untuk menanyakan pada umma ataupun Kafka di mana letak ruangan Rayyan.

"Ini gue harus ke mana?" gumam Ayra seraya melangkah pelan, saat tengah asik dengan pikirannya, Ayra dikejutkan dengan seorang mahasiswi yang tiba-tiba mengiringi langkahnya.

"Saya lihat kamu kayak lagi nyari seseorang. Nyari siapa, Dek?"

Ayra melirik mahasiswi itu sesaat.
"Nyari ruangan Pak Dosen, Kak."

"Siapa namanya kalau boleh tahu?"

"Rayyan Sankara Al-Khalifi."

"Oh, Pak Ray, mari saya antar."

Ayra tersenyum menanggapi itu, ia mengikuti langkah mahasiswi itu yang membawanya sampai di depan sebuah ruangan yang ia tebak ini adalah ruangan milik Rayyan.

"Sepertinya beliau masih ada kelas, kamu tunggu di sini dulu nggak papa, kan? Tadi juga ada yang mau bertemu dengan beliau, tapi mungkin orang itu udah pergi. Maaf saya harus pergi karena ada kelas juga," ujar mahasiswi itu.

Ayra mengangguk pelan. "Nggak papa, Kak. Sebelumnya, terima kasih banyak."

Mahasiswi itu tersenyum, ia hendak melanjutkan langkah namun urung saat Ayra kembali membuka suara.

"Apa boleh saya menunggu di dalam?" tanya Ayra.

Mahasiswi itu berpikir sejenak.
"Emm, lebih baik kamu tunggu di luar aja, ya. Saya tidak menerima resiko untuk itu."

"Ah, iya, baik kalau gitu." Ayra menyudahi pembicaraan.

Mahasiswi tersebut berlalu dari sana, meninggalkan Ayra di depan ruangan Rayyan seorang diri.

Tak lama, Ayra merasa bosan menunggu Rayyan yang tak kunjung kembali. Ia mengabaikan ucapan mahasiswi tadi yang melarangnya untuk masuk.

Sebelah tangannya meraih handle pintu ruangan Rayyan. Melangkah masuk, dahinya berkerut dalam saat melihat tumpukan cake yang tertata rapi di atas meja ruangan.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang