Bab 16 : Demam.

349K 17K 474
                                    

Di bawah naungan mentari yang cukup redup, semilir angin bergerak melambai pepohonan tepi jalan pedesaan yang cukup asri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di bawah naungan mentari yang cukup redup, semilir angin bergerak melambai pepohonan tepi jalan pedesaan yang cukup asri. Ayra, gadis itu tengah berlari sekuat tenaga menuju kembali ke pesantren. Angin yang berhembus kencang terkesan tiada arti karena tubuhnya kini penuh dengan peluh akibat kelelahan.

"Astaga! Capek banget gue," keluh Ayra yang pada akhirnya sampai di depan gerbang belakang pesantren.

Huh! Ditariknya napas dalam-dalam sebelum ia hembuskan kembali perlahan.

"Semoga aman," gumam Ayra, kakinya kembali merayap pada gerbang seperti cara sebelumnya yang ia lakukan.

Bruk!

"Ekhem!" Tepat pada saat kakinya menapak di tanah seraya berjongkok, suara deheman seseorang menyapa indera pendengarannya.

Ayra terperanjat. Ia memejamkan matanya sesaat karena sangat mengenali pemilik suara itu.

"Kenapa Gus Rayyan ada di mana-mana, sih?" batin Ayra, merasa kesal.

"Dari mana?" tegas Rayyan dengan kedua tangan yang diistirahatkan ke belakang, ciri khas seorang keamanan pesantren.

Ayra berdiri, menatap Rayyan dengan menunjukkan deretan giginya yang rapi.

"Hehe! Gus ngapain di sini?" Ayra mengalihkan pembicaraan.

"Sepertinya saya harus kasih hukuman extra buat kamu, Zhafira Ayrania," ujar Rayyan dengan penuh penekanan.

"Paling hukumannya hafalan kayak biasa, kan, Gus?"

"Bukan."

"Terus hukuman apa dong?"

"Hukuman sembilan bulan, biar kamu jera."

"Hah? Hukuman sembilan bulan itu hukuman apa, Gus?" beo Ayra yang tidak paham.

Rayyan tidak menanggapi pertanyaan Ayra, rasa khawatirnya kini perlahan mereda karena sang istri sudah berada di depan mata.

"Dari mana aja kamu?" tanya Rayyan.

Ayra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung untuk menjawab apa. "Cari angin bentar, Gus. Ternyata angin di luar pesantren berbeda rasa sama angin dalam pesantren, hehe!" Pada akhirnya, itulah jawaban Ayra.

"Perbedaannya?" tanya Rayyan.

"Ya, kalau di luar itu seger, Gus. Beda kalau di dalam, bau khas kitab-kitab menguar meskipun baru masuk gerbang depan."

Rayyan menggeleng pelan, gadis itu sungguh unik. "Kenapa harus kabur? Kenapa nggak izin dulu?"

"Hem, a-anu, Gus—"

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang