Bab 55 : Rindu yang Terobati.

190K 9.9K 711
                                    

Sesuai permintaan Umma Maryam kemarin, saat ini ketiganya berangkat menuju Jakarta untuk melihat keadaan Rayyan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesuai permintaan Umma Maryam kemarin, saat ini ketiganya berangkat menuju Jakarta untuk melihat keadaan Rayyan. Mereka berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta setelah beberapa jam lamanya mengapung di udara. Setelahnya, Umma meminta Kafka untuk memesan driver online untuk membawanya menuju rumah Haikal.

Sedang, orang yang akan dituju saat ini tengah menikmati udara pagi hari di taman komplek yang berada di dekat rumah.

"Sayang," panggil Rayyan.

Ayra menoleh.
"Dalem, Mas."

Rayyan terkekeh.
"Udah bisa Bahasa Jawa sekarang, hm?"

Ayra ikut tertawa mendengar itu.
"Nggak, Mas. Aku cuma paham itu-itu aja, itu pun karena sering denger dari kamu."

Rayyan tersenyum menanggapi itu, ia memang jarang menggunakan bahasa Jawa ketika sedang bersama Ayra kecuali satu atau dua kata.

"Padahal kamu juga orang Jawa, Ay."

"Itu, kan, Ayah, kalau Bunda orang sini. Jadi aku ngikut Bunda aja," kekeh Ayra, menjeda ucapannya. "Mas mau ngomong apa tadi?"

"Apa yang paling kamu benci di dunia ini?" tanya Rayyan.

"Sebuah kebohongan dan pengkhianatan," balas Ayra, tanpa berpikir panjang.

Rayyan mengangguk-angguk, paham kenapa sang istri sangat membenci dua perkara itu.
"Bagaimana rasanya dikhianati, Ay? Terlebih orang itu pamit tanpa aba-aba?"

"Entah, aku hampir lupa gimana rasa sakitnya pengkhianatan itu karena hadirnya kamu, Mas."

"Seandainya orang itu pergi dengan pamit, apa perasaan kamu akan lebih baik saat itu?" tanya Rayyan.

"Hem, mungkin itu jauh lebih baik," balas Ayra, kemudian tersenyum.

"Jadi, itu alasan kenapa dulu kamu memilih kabur dari pesantren ketika Mas melakukan kesalahan waktu itu?"

"Karena kamu merasa kembali dikhianati?" sambung Rayyan.

"Itu bukan sepenuhnya salah kamu, Mas. Salahku juga karena belum bisa bersikap dewasa."

Rayyan mengacak pelan puncak kepala Ayra.
"Jadi istri Mas ini sekarang udah dewasa, hm?"

"Menurut Mas sendiri, gimana?" bukannya menjawab pertanyaan Rayyan, Ayra justru kembali bertanya.

"Kamu itu masih bocil," balas Rayyan sekenanya, membuat Ayra memberengut kesal.

"Tapi bocilmu ini udah mau punya bocil juga, Mas," ledek Ayra seraya mengusap perutnya.

Rayyan tertawa.
"Dasar bocil. Ayo, pulang." Rayyan beranjak dari duduknya, sebelah tangannya terulur pada Ayra, mengajak istrinya itu untuk mengikuti langkahnya.

Sepasang suami istri itu terus melangkah beriringan dengan tangan yang saling bertautan. Rayyan tak henti-hentinya melantunkan sholawat dengan pelan, membuat Ayra tersenyum dan terus menatapnya dengan binar mata yang menyorot rasa kagum.

Namun, senyuman itu pudar ketika detik berikutnya Rayyan menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Matanya terpejam beberapa saat, menetralisir sesuatu yang terjadi.

"Mas kenapa?" Ayra menatap Rayyan penuh khawatir.

Mendengar itu, Rayyan kembali membuka matanya dan membalas tatapan Ayra dengan tersenyum kecil.
"Nggak papa, ayo jalan lagi."

Meski ada sesuatu yang mengganjal di hati Ayra, ia tetap patuh dan kembali berjalan. Kini keduanya sama-sama diam karena sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Sesekali mereka tersenyum ketika ada tetangga yang menyapanya.

Setelah beberapa menit berjalan, keduanya telah sampai di depan pintu gerbang rumah Haikal bertepatan dengan sebuah mobil yang berhenti di belakang mereka.

Ketiga orang yang berada di dalam mobil bergegas turun begitu melihat sosok yang sangat dirindukan. Sedang, Rayyan dan Ayra menoleh bersamaan saat mendengar suara deru mobil yang berhenti.

"Rayyan?"

Deg!

"Umma?"

Satu kata yang lolos dari bibir Rayyan begitu menoleh dan melihat kedua orang tua serta adiknya sudah berdiri tepat di hadapannya. Pun sama halnya dengan Ayra yang terkejut melihat keluarga suaminya datang tanpa aba-aba.

Sementara itu, Kafka yang melihat kakaknya berdiri tegak mengerjabkan matanya perlahan.

"Abah, itu benar Mas Ray?" lirih Kafka, pada Abah yang juga sangat terkejut melihat putra sulungnya saat ini.

Air mata Umma luruh seketika, ia langsung mendekat dan menghambur ke dalam pelukan Rayyan begitu mendengar sang putra memanggilnya. Panggilan yang sangat ia rindukan yang pada akhirnya bisa ia dengar lagi.

Dengan air mata yang menetes tanpa suara, Rayyan mengusap bahu sang ibu dengan pelan. Rayyan berani bersumpah bahwa ia tidak bermaksud menciptakan tangis untuk ibunya sendiri.

Ayra yang melihat itu tersenyum haru, ia turut meneteskan air mata begitu melihat pemandangan seorang ibu yang sangat merindukan anaknya.

"Umma, maaf. Maafin Ray," lirih Rayyan.

Umma hanya mengangguk kecil mendengar itu. Meski hatinya kecewa karena sang putra menyembunyikan tentang keadaannya, Umma yakin jika Rayyan memiliki alasan lain di balik itu semua.

Namun, berbeda dengan Abah, begitu ia melihat tatapan mata Rayyan, ia merasa ada hal lain yang yang tersirat di dalam sana.

Rayyan menyalami Abah dengan takzim, sama halnya dengan Umma, ia memeluk sang ayah dengan erat.

"Sepertinya sesuatu telah terjadi. Bukan begitu anak nakal?"

Rayyan tersenyum dalam pelukan ayahnya, masih sama seperti dulu jika sang ayah tidak bisa untuk ia bohongi.

"Apa Abah bisa untuk Ray bohongi?" bisik Rayyan, yang hanya mampu didengar oleh Abah.

Rayyan melepaskan pelukannya, kemudian tersenyum pada Abah. "Ray baik-baik aja, Bah."

Abah menghela napas berat mendengar kebohongan putranya sendiri.

Rayyan mengalihkan tatapannya pada Kafka yang sedari tadi hanya diam dan terus memperhatikannya.

"Perubahan yang sangat drastis, Ka. Apa sekarang kamu berubah jadi pendiam?" ujar Rayyan, membuat Kafka langsung memeluk kakak laki-lakinya dengan sangat erat.

"Mas kapan pulang ke pesantren?" Kafka menjeda ucapannya. "Kafka udah nggak sanggup, apalagi sama temennya Mbak Ayra."

————————————
Ada apa dengan Rayyan?

————————————Ada apa dengan Rayyan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#ToBeContinued.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang