Bab 57 : Muhammad Elzayn Al-Khalifi.

197K 10.6K 753
                                    

Sesampainya di rumah sakit, Rayyan kembali mendapatkan perawatan yang sama seperti sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesampainya di rumah sakit, Rayyan kembali mendapatkan perawatan yang sama seperti sebelumnya. Setelah menjalani Computerized Tomography (CT) scan, Dokter mendiagnosis pasien mengalami cidera otak traumatik yang mengakibatkan terjadinya pendarahan subarachnoid traumatik.

Selain itu, dokter juga memberikan vasodilator bernama nimodipine untuk mencegah terjadinya penyempitan pembuluh darah otak yang biasanya terjadi sebagai respons alami terhadap perdarahan.

Abah yang mendengar penjelasan dokter terdiam, bak dihantam batu besar tepat di kepalanya.

Sedang di luar ruangan, Haikal meraup wajahnya kasar begitu mendapat panggilan dari Luna yang mengatakan jika Ayra mengalami masalah pada kehamilannya yang mengharuskannya untuk menjalankan operasi caesar. Dengan kehamilan Ayra yang baru memasuki usia tiga puluh dua minggu, dokter menyarankan melakukan persalinan prematur untuk meminimalkan komplikasi yang bisa membahayakan janin.

Haikal segera menuju ruang IGD di mana dokter memintanya untuk menyetujui tindakan operasi pada sang putri. Hatinya terasa sangat sakit melihat Ayra yang sudah tak sadarkan diri, ia hanya bisa melafalkan doa untuk kesembuhan putra dan putri, serta keselamatan untuk cucunya.

Hati ibu mana yang tidak sakit, melihat anak-anaknya berjuang antara hidup dan mati? Itulah yang dirasakan Luna dan juga Umma Maryam, bibir seakan tak berhenti berdzikir berharap semuanya berjalan lancar sebagaimana mestinya.

Sedang, di sudut rumah sakit, Kafka memilih duduk di taman seraya memejamkan matanya, ia menghela napas panjang. Pertemuan yang begitu hangat sebelumnya kenapa harus berakhir sesakit ini? Kedua kakaknya harus berjuang di dalam dinginnya bed perawatan rumah sakit. Kenapa takdir begitu tega pada mereka?

***

Gesekan roda brankar yang beradu dengan dinginnya lantai rumah sakit membuat suasana terasa mencekam, dokter membawa Ayra masuk ke dalam ruang operasi setelah semuanya telah siapkan. Detik berikutnya, lampu indikator menyala tanda operasi akan segera dimulai.

Sementara itu di sudut lain, seorang paruh baya tengah menggulung lengan bajunya, memulai rangkaian wudhu dengan tertib. Setelahnya, Abah Umar masuk ke dalam masjid, melaksanakan sholat dhuha disusul sholat hajat, meminta agar semua proses anak-anaknya di beri kelancaran dan kemudahan.

Sayatan demi sayatan telah dokter lakukan, setelah bertarung dengan beberapa alat medis selama kurang lebih enam puluh menit, momen yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, suara tangis bayi terdengar nyaring membuat dokter dan beberapa perawat lainnya menghela napas lega.

Semua pasang mata berdecak kagum begitu melihat bayi dengan berjenis kelamin laki-laki itu nyaris sempurna. Meski kelahirannya jauh dari masa perkiraan, parasnya terlihat tampan, hidung mancung, serta kulit yang kemerah-merahan mendominasi.

Jika saja keadaannya tidak seperti ini, kebahagiaan ini pasti akan lebih tercipta, semua senyum akan mengembang tanpa harus diiringi jerit luka. Namun, apalah daya, jika Allah sudah berkehendak dengan apa yang seharusnya terjadi, maka itulah yang akan terjadi.

Bayi laki-laki itu dibawa perawat untuk segera dibersihkan dan akan dibawa ke Ruang NICU (neonatal intensive care unit) untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Setelah itu, dokter melakukan penjahitan rahim dan semua lapisan yang disayat selama operasi. Tak lama, Lampu indikator meredup, pertanda tindakan di ruang operasi telah selesai. Ayra akan dipindahkan ke ruang rawat untuk proses pemulihan.

Dokter keluar dari ruang operasi, membuat semua orang yang menunggu di luar ruangan beranjak dari tempatnya.

"Gimana keadaan putri dan cucu saya, Dok?" tanya Luna, memborong semua pertanyaan yang ada.

Dokter lebih dulu membuka maskernya sebelum akhirnya membuka suara.
"Alhamdulillah, operasi berjalan dengan lancar. Selamat, ya, Pak, Bu. Bayinya laki-laki. Keduanya dalam keadaan sehat, hanya saja sang ibu membutuhkan waktu untuk kembali sadar dan juga putranya harus menjalani perawatan lebih lanjut di ruang inkubator."

***

Dalam waktu yang bersamaan, Rayyan membuka matanya perlahan, hal pertama yang ia lihat adalah ruangan yang beberapa minggu lalu ia tempati. Ingatannya kembali berputar pada saat di mana ia meninggalkan Ayra dalam keadaan istrinya itu menangis. Air mata Rayyan luruh, mengingat ia belum bisa menjaga Ayra dengan baik.

Rayyan mengalihkan tatapannya pada pintu ruangan yang terbuka, ia tersenyum dengan pandangan lemah pada ibu dan juga ayahnya yang baru saja memasuki ruangan. Sedang, Umma dan Abah yang melihat sang putra telah kembali membuka matanya tak lupa mengucap kalimat syukur, keduanya berjalan mendekat dengan mata yang mengembun.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Nak?" Umma mendekat dan mencium kening putra sulungnya dengan sangat lama.

Rayyan tersenyum, ia mengangguk pelan. Setelahnya, ia menatap ke arah ayahnya.
"Maaf," kata Rayyan, ia selalu mengingat konsekuensinya ketika memilih berbohong pada sang ayah. Ayahnya tak segan memberikan hukuman untuk Rayyan dengan hitungan tak terkira. Seperti menghafal satu juz Al-Qur'an dengan waktu yang singkat.

Abah mengangguk kecil.
"Dengan syarat, tetaplah kuat untuk istri dan juga putramu."

Deg!

"Putra?" lirih Rayyan.

Rasa sakit itu seakan hilang begitu mendengar penuturan dari sang ayah. Rasa bahagia membuncah disertai sudut mata yang terlihat basah, hatinya menghangat mengingat bahwa saat ini dirinya telah menyandang gelar seorang ayah. Namun, di detik berikutnya Rayyan mengernyitkan dahinya ketika mengingat usia kehamilan Ayra yang belum memasuki hari perkiraan lahir.

"Apa terjadi sesuatu?" sambung Rayyan dengan pandangan lemah.

"Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja, istri dan putramu masih dalam pemulihan." Umma tersenyum, hatinya sangat sakit melihat putranya masih dipenuhi oleh alat medis.

"Abah ..., Umma," panggil Rayyan dengan pelan. "Ray ingin melihat Ayra dan juga Zayn."

Kedua paruh baya itu saling beradu pandang.
"Zayn?" ucap Abah san Umma bersamaan.

Rayyan mengangguk seiring kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan senyum.
"Namanya Zayn, Muhammad Elzayn Al-Khalifi."

------------------------------------------

------------------------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#ToBeContinued.

KIBLAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang