Bolehkah ia merindukan tatapan teduh itu?
-Rasyana-~~~
Dengan kunci duplikat yang ia punya, Rasyana memasuki rumahnya. Dirinya memang sengaja menduplikatkan kuncinya untuk jaga-jaga.
Berjalan santai ditengah kegelapan rumahnya adalah suatu hal yang sudah menjadi rutinitas dirinya ketika malam minggu.
Sungguh ia tak takut. Mengingat keluarganya membuat peraturan tak boleh keluar malem untuk hal yang tak jelas pun, dirinya tak peduli.
Hanya saja dirinya sangat malas jika harus mendengar perkataan yang sungguh tidak jelas bagi dirinya.
Ya, seperti sekarang ini. Berjalan tak peduli, meski tau bahwa ada seseorang di ruang keluarga. Semakin tak peduli ketika dirinya tau siapa yang sedang duduk di sofa itu.
"Laku berapa kali lo malem ini?" mendengar pertanyaan dengan nada sarkas membuat langkah Rasyana terhenti.
"Kepo banget lo sama urusan orang" nada sinis Rasyana lemparkan sembari melipatkan tangannya didepan dada
Maju beberapa langkah mendekati, Rasyana kembali berujar "Lagian mau gue laku berapa kali pun, pasti masih lakuan lo. Bukan begitu clara?" tanya Rasyana dengan tersenyum remeh dan menaikkan satu alisnya.
Mendengar penuturan Rasyana, Clara pun berdiri "Maksud lo apa?" tanya Clara dengan nada tidak terimanya dan tak lupa telunjuknya ia arahkan kepada Rasyana.
Senyum remeh makin Rasyana tampilkan ketika mendengar pertanyaan tersebut.
"Lo kira gue gatau kalo lo sering ke club dan parahnya lo sering duduk di pangkuan cowo-cowo ga jelas. Gadun lo kah itu?"
Emosi yang sudah berada di puncak, membuat Clara berjalan menuju Rasyana. Dorongan keras dibagian bahu, Clara serangkan untuk Rasyana.
"Fiktif banget ucapan lo. Gue ini bener-bener anak rumahan. Bisa-bisanya lo nuduh gue. Jalang mah jalang aja, ngga usah nuduh orang lain"
Dorongan yang diberikan, sama sekali tak membuat Rasyana berpindah posisi. Kini bukan lagi senyum remeh yang ia berikan. Melainkan, tawa sinis dengan kalimat sebuah fakta ia lontarkan.
"Club Anestia. Malam rabu. Jam sebelas malam. Baju tanpa lengan. Duduk dipangkuan cowo berjas. Dibayar berapa lo? atau lo lakuin secara sukarela?"
"Anjing lo" umpat Clara dengan amarahnya yang menggebu-gebu. Bahkan tangannya tak segan-segan menarik secara keras rambut Rasyana.
"Lepasin tangan lo atau gue tendang" ujar Rasyana dengan santai sembari memberi pilihan.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Oke, sudah cukup. Mari kita beri pelajaran bagi sosok tak tau diri dihadapannya ini.
"Lo tau kan kalo waktu gue kecil pernah juara lomba silat? Lawan gue sih waktu itu sampai masuk rumah sakit si. Jadi, lo bisa aja sampe sofa itu dengan tendangan gue" ujarnya sembari melirik sofa yang berada dibelakang Clara.
Tarikan dirambutnya perlahan mengendur. Ah, ancaman itu rupanya berlaku. Padahal ia tadi hanya sedikit memberikan kebohongan pada ucapannya.
Namun, tarikan itu kini berpindah ke sebuah tas yang sedang Rasyana gunakan.
"Bagi gue duit sini. Kalo lo ngga mau ngasih, bakal gue aduin papah. Gue bakal melebih-lebih kan cerita, bahkan gue bisa aja cerita kalo misalkan lo jual diri di luaran sana"
Rasyana sontak memutar bola matanya. Sungguh ia muak dengan segala drama yang Clara buat. Karena sudah benar-benar dititik jengah, akhirnya Rasyana pun mendorong keras bahu Clara sampai dia terjatuh. Sungguh lemah, pikirnya.
"Apaan sih lo, ngga jelas banget" ucap Rasyana berlalu pergi
Ditengah langkahnya yang sedang menaiki tangga, langkahnya terhenti karena mendengar teriakan dari gembel mengenaskan di bawah sana.
"PAPAH"
"PAPAH"
"HUAAA"
"PAPAH"
Mendengar sang putri kesayangannya memanggil dirinya dengan begitu keras, ia pun bergegas dengan cepat menghampiri putrinya yang sudah duduk lemas.
Melihat sang papah sudah berada didekatnya, Clara pun merentangkan tangan, meminta untuk dipeluk.
"Papah" lirih Clara
"Kenapa sayang? Kamu kenapa? Ini rambutnya kenapa berantakan gini? Pipinya juga kenapa merah?" nada khawatir benar-benar terdengar di setiap kata yang diucapkan sang papah
"Liat, macam gembel kan?" - batin Rasyana
"Heh! Anak gatau diri. Kamu apakan anak saya? Berani-berani nya kamu! Saya saja ngga berani untuk nyakitin dia. Memang, kamu sama sekali ngga berubah" ucapan dengan nada berupa tuduhan ia lontarkan ketika melihat ada seseorang sedang melihat dengan santai.
Bagaikan angin lalu, Rasyana kembali membalikkan badan guna melanjutkan kembali langkah yang sempat terhenti.
Namun, dirinya kalah cepat. Ia terjatuh karena sebuah tarikan dengan tenaga yang begitu kuat. Tubuhnya terguling-guling, membuat sudut di jidatnya mengeluarkan darah.
"Saya baru merhatiin, abis kemana kamu? Berani-beraninya keluar malam. Mau jadi jalang kamu?" Baru ingin menetralkan rasa sakit yang hinggap, ia pun harus mendengarkan rentetan omelan yang membuat kepalanya semakin berdenyut.
"Make baju kurang bahan. Malu-maluin keluarga! Apa ngga cukup, kamu mempermalukkan kami dengan nilai mu yang ngga sempurna itu?" suara bentakkan memenuhi ruangan itu
Bagai wanita sekuat baja, ia pun berdiri ketika denyutan dikepalanya sudah kembali normal. Menatap dengan berani bola mata yang memancarkan amarah. Sebenarnya ia rindu bola mata itu, bola mata yang dulu menatapnya dengan teduh.
"Baju kurang bahan?" pertanyaan kekehan sinis, Rasyana berikan.
"Saya yakin mata anda masih bisa melihat dengan jelas apakah rok jeans dibawah lutut, baju lengan panjang yang saya pakai itu masih dibilang baju kurang bahan apa tidak. Saya juga sangat amat yakin, jika otak anda masih bekerja dengan normal"
Sebelum pergi dari ruangan itu, Rasyana layangkan tarikkan pada rambut Clara dengan sungguhan agar Clara tak usah berbohong.
"Nih gue tarik rambut lo beneran. Biar lo ga nanggung dosa atas ucapan bohong lo tadi. Dan biar lo lebih keliatan kayak orang gila beneran"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah, apa itu?
Novela JuvenilBagi sebagian orang, pulang ke sebuah "rumah" adalah tujuan ketika sudah capek dari segala hal. Disambut hangat, adalah sebuah mimpi yang ia inginkan ketika usianya makin beranjak dewasa. Ntah salah apa yang ia perbuat, hingga rasanya ia berfikir ba...