Najandra: Hai, are you okay?
Najandra: That's fine kalau belum mau cerita sekarang. You know, I am all ears, always.
Najandra: Don’t hesitate to reach me out if you need something, Prisha. Hm?Prisha kembali menyimpan handphone-nya yang layarnya menghitam ke dalam saku celana.
Tentu dia merasa bersalah karena pergi begitu saja selepas menjereng janji temu dengan Najandra.
Sebelumnya, dia bahkan tak pernah mengingkarinya. Sebelumnya, malahan Prisha lah yang lebih butuh banyak bertemu pria itu demi meredakan amukan jiwanya.
Ya, sebelumnya. Saat dia tak tahu bahwa Najandra ternyata juga mengenal ... ibunya.
Bagaimana bisa mereka saling kenal? Apakah itu bahkan sebelum Prisha memutuskan mengambil sesi konsultasi dengan pria itu?
Well, Prisha sadar kok bahwa hal-hal buruk yang dia pikirkan terkadang sebatas asumsinya belaka. Namun, sungguh, dia sering kali kesulitan untuk mengendalikannya. Makin lama pemikiran itu justru berkembang kian liar sampai-sampai mulai bermunculannya setitik keraguan seperti ....
Apakah Najandra betul-betul menjaga segala rahasianya sebagai seorang pasien selama ini?
Atau, apakah Najandra cuma kebetulan didatangi oleh ibunya?
Namun, bagaimana itu mungkin?
Kecuali, jika ibunya selama ini memang sudah diam-diam mengawasi Prisha lalu coba-coba menghubungi Najandra. Tetapi, buat apa?
Menyerah menghadapi kesimpang-siuran yang melanda benaknya, tangannya lantas buru-buru meraih satu kotak P3K dari dalam lemari dapur. Memutuskan membawa satu botol air mineral sekalian, perempuan itu berjalan ke ruang keluarga yang berbeda dari area ruang makan yang sekaligus memuat potret pernikahan Paradikta bersama Saniya dan Prisha, di ruang keluarga yang biasa Naga gunakan untuk main kejar-kejaran bareng Nur Ami dindingnya tak lagi dihiasi oleh potret-potret jejak pernikahan Paradikta dan Saniya. Sebagai gantinya di sana kini menggantung figura-figura kecil yang seolah sedang bercerita tentang awal mula pertemuan Paradikta dan Prisha hingga terakhir kemarin mereka menikah di balai KUA. Di mana setiap meliriknya, Prisha rasanya ingin menertawakan alur hidupnya.
Susah payah berlari hingga nyaris tiga tahun. Lolos dari keinginan membunuh dirinya sendiri hanya demi hidup sehari lagi, eh, ternyata hanya demi mengantarkan Prisha untuk kembali ke awal.
Mungkin benar kata orang-orang bahwa tidak setiap nasib buruk bisa dihindari. Kalau pun ada kesempatan kedua apa yang semestinya terjadi toh akan tetap terjadi juga. Terjebak bersama Paradikta dan drama hidupnya mungkin memanglah bagian dari takdir yang telah Prisha setujui sebelumnya dengan Tuhan sehingga memang tidak bisa dilawan.
Lalu ....
Paradikta yang sedang berdesis-desis sambil duduk mendengarkan Sekretarisnya meng-update laporan terkini soal kerjaan via panggilan video terlihat beberapa kali menyentuh bagian sudut pipinya yang lecet. Ugh, posisi lecetnya bahkan mirip sekali dengan luka yang Prisha dapat dari hasil pertengkarannya bareng Awidya, yang berkat rajinnya Naga membantu mengolesinya pakai salep kini luka itu sukses mengering.
Well, bicara mengenai luka, Prisha juga nyaris terluka tadi begitu pulang. Bukan karena mereka terlibat sebuah kecelakaan lalu lintas di jalan atau sejenisnya. Namun, karena ....
"Masih berani kamu datang kemari?!"
Prisha tadi berdiri dua langkah di belakang punggung Paradikta dan ikut terkejut begitu membuka pintu tahu-tahu mereka langsung disambut oleh lemparan satu gelas kaca.
Paradikta jelas telat menghindar sehingga gelas berisi air itu meluncur deras bagai roket, dan mengenai pinggiran pipi kiri laki-laki itu sebelum akhirnya jatuh setengah meter saja di dekat kaki Prisha. Airnya bahkan menciprat-ciprat membasahi punggung kaki perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...