Dalam Pelarian.

6.9K 829 56
                                    

La-Mona sudah tidak seramai siang tadi ketika Prisha mengekori Mona yang melipir masuk ke ruangannya di mana sehari-hari perempuan itu mengerjakan kegiatan administrasi florist.

Tidak terlalu luas karena memang hanya Mona seorang lah yang normalnya menghuni. Satu meja kerja berwarna putih yang di atasnya memuat seperangkat komputer lengkap dengan printer, satu jajar file holder di pojok meja yang merapat ke dinding, juga satu vas mini kaktus di sisi meja lainnya. Sama sekali tak tampak ramai, tetapi agaknya cukup wajar mengingat di dalam ruangan itu begitu saja muncul suara ini:

"Meow meow meow!"

Ah, itu Marlon, yang doyannya ngeberantakin ruangan rapi Mona. That's why Mona cuma menyisakan yang penting-penting saja di meja kerjanya jika dia tak mau Marlon kesenangan hilir-mudik di atas berkas-berkasnya.

Prisha lalu mengawasinya saat Mona menunduk di samping kandang berwarna merah muda yang berada tepat di bawah kursi putarnya hanya demi mengeluarkan seekor kucing gembul berbulu oranye yang mukanya kelihatan selalu sensi. Bagaikan anaknya sendiri Mona yang hari ini mengenakan dress motif bunga-bunga kuning—senada dengan pakaian Marlon—menggendong kucing itu di depan dadanya sambil berkali-kali mengelus-ngelusi sayang bagian kepala bulat bak melonnya.

Terkadang Prisha bahkan tak mengerti dengan Mona atau terhadap orang-orang lainnya yang bisa mencintai atau pun berkorban dengan sebegitu besarnya padahal tak ada ikatan darah di antara mereka. Bukan hal mengherankan Prisha sampai berpikir demikian sebab ibunya saja—satu-satunya keluarganya yang tersisa—selalu berambisi untuk menyingkirkannya. Dan, itu tak mengapa karena Prisha memang pantas untuk didepaknya.

"Mumpung masih sore nggak mau mampir ke rumah dulu gitu? Kita makan bareng sama Mami atau kamu bisa bebersih. Atau, ntar kalo kamu mau pergi ke mana berangkatnya biar kamu dianterin Pak Adi. Gimana, Prish?" tanya Mona sembari memberi Marlon snack yang dengan lahap dijilat-jilatinya.

Prisha yang sedari masuk masih berdiri bagai batu di ambang pintu sontak menggeleng. "Saya tidak menginap."

Mengalihkan perhatiannya dari Marlon, Mona lantas mencari-cari wajah Prisha. Perempuan itu sedang memandanginya melalui netranya yang kalau kata anak-anak di La-Mona sih—khususnya, sebelum mereka mengenal Prisha di lebih dari dua tahun ini—tatapannya Prisha tuh suka setajam mulut tetangga, huhu, sehingga banyak dari mereka yang baru kenal Prisha merasa langsung jiper cuma gara-gara dilirik. Kecuali, ya Mona sih. Sejak pertama mereka saling kenal dia memang sudah terbiasa ugal-ugalan. Bukan sekali-dua kali Mona nyulik Prisha untuk diajaknya main ke Tebet sehingga ketika dia menyebut Mami barusan, Prisha pastilah tahu bahwa itu Maminya Mona yang saban Prisha dia paksa mampir selalu tak lupa menjamunya dengan hidangan lezat.

"Masa mau langsung pulang ke Bogor sih?" tanya Mona, nadanya jelas tak setuju. "Kemaleman kali ah. Bahaya apalagi kamu naik umum. Udah sih nginep aja. Kalo nggak mau ikut nginep di rumah Tebet ya udah di tempat Jes juga nggak papa kayak kemarin. Jadi, baliknya bisa besok pagi dari florist dianter sama Ujang ke stasiun."

Prisha bukanlah tipikal manusia yang mudah curhat terlebih di depan sembarang orang. Sejak pertama kali mengenalnya, Mona udah tahu bahwa kendati bicaranya dikit-dikit, tapi Prisha bukan orang jahat.

Oke. Mereka tidak bisa dibilang dekat banget sih. Tentang Prisha, pengetahuan Mona mungkin masih dangkal sekali. Dia cuma tahu sebelum berkebun di Bogor, Prisha sempat kerja kantoran di Jakarta. Di mana? Atau, dalam bidang apa? Mona tidaklah tahu, sekaligus berusaha untuk tak lancang mencari tahu sebelum Prisha sendiri yang terbuka bicara. Yang jelas Prisha sangat berbakat menanam mawar. Bunga-bunga dari kebunnya adalah favorit Mona. Dan, dia juga bukan tipikal orang menyebalkan saat diajak berbisnis. So, that's enough bagi Mona.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang