"Apa yang sudah kamu lakukan, hah?!"
Prisha melihat satu tas branded mencuat dari lubang paper bag yang tercampakan di samping kaki telanjangnya setelah barusan sempat dilempar kasar serta mengenai telak bagian figur kanan wajahnya.
Prisha bahkan bisa merasakan mulai muncul sedikit rasa perih di bekasnya. Ah, mungkin memang berhasil tercipta sebuah luka sayatan di pipinya karena di sana pelan-pelan seperti ada cairan yang menitik.
"Tuh kan sudah saya duga juga apa! Kamu bakal bawa sial di keluarga ini! Belum apa-apa Naga sudah kamu bikin terluka kayak begini! Lama-lama apa? Kamu bakal bikin keponakan saya mati jangan-jangan ya biar kamu bisa gasak hartanya?!"
Dibanding melihat Awidya yang entah seperti apa ekspresi berangnya, Prisha memilih untuk mengamati Naga yang langsung mengkerut memeluk boneka pesawatnya di pojokan sofa.
Hish! Ada apa sih dengan keluarga ini? Apa uang mereka kurang buat membiayai mereka mengikuti pelatihan etiket? Tidak pernahkah mereka mendapat kursus kepribadian?
Lalu, bukankah setidaknya mereka berpendidikan tinggi? Tidakkah kepikiran meluangkan waktu juga demi belajar mengenai dasar-dasar psikologi—dengan status soal juga tekanan yang mereka terima mestinya mereka sadar betapa pentingnya mengelola mental.
Tak hanya kesulitan mengontrol amarah, mereka—well, kecuali Damaja, lelaki itu sejak kali pertama Prisha lihat memanglah mirip sekali dengan Paradikta yang di awal-awal Prisha kenal, cuma tentu dalam versi upgrade khususnya mengenai decision making-nya—mudah sekali tersulut emosi, tak peduli bila mereka bahkan melakukannya di hadapan anak-anak seperti Naga.
Prisha sendiri jujur saja sudah khatam rasanya. Maksudnya, saat dia harus menjadi saksi bisu dari sebuah pertengkaran. Sungguh, itu tidaklah mudah. Pun, sungguh itu mempengaruhi mentality Prisha hingga dia dewasa lalu memilih menjadi seorang people pleaser hanya gara-gara tak ingin terlibat dalam suatu perdebatan yang dalam ingatannya tidak pernah berakhir baik.
Yah.
Ketika dia kecil Bapak dan Ibu kerap berselisih. Biar pun Bapak selalu berusaha tak menunjukannya di hadapan Prisha, sekaligus tak henti-hentinya bersabar guna tak membalas satu pun makian dari Ibu bila sedang bersama Prisha, tapi Prisha tahu betapa tertekan serta serba salahnya jika harus terjebak di situasi semacam itu. Apalagi saat namanya tercatut dalam setiap seruan berbau memaki-maki, Prisha tak bisa menahan pikirannya untuk tidak berspekulasi bahwa pertengkaran itu terjadi karenanya.
Andai dia tidak pernah ada adalah buah pemikiran yang sering muncul di kepala Prisha kecil acap kali menyaksikan raut bersalah Bapak di bawah tatapan menghakimi Ibu. Bahkan mungkin tanpa dia sadari tendensi keinginannya untuk bunuh diri telah terpupuk sedari awal.
Dan, Awidya jelas yang terburuk. Sebab, tak cuma merepet dia juga menunjukan tindak kekerasan yang andai dia mau berpikir lebih jauh bisa saja bikin anak dari keponakan kesayangannya ini menderita trauma.
"Jangan harap saya bakalan diam saja! Kuman seperti kamu yang mau kaya dengan cara instan harus tahu kalau tempat kamu itu di tong sampah!" pekik Awidya. Karena, rumah sepi suaranya pun mencipta gelegar hebat.
Kali ini tak lagi mengkerut, Naga bahkan sudah melipat kakinya. Dia berusaha menutupi telinga, tapi kesulitan sebab tangannya di-gips.
Namun, apakah Awidya peduli?
Melalui ekor mata yang memanjang, Prisha dapat memindai wanita itu masih betah berdiri sambil melipat lengannya di dada ketika berkata kian berang, "Kamu kira bakal lama-lama di keluarga ini? Cuih!" Dia bahkan sungguh-sungguh meludah ke lantai. Mengenai paper bag-nya dan nyaris menciprat-ciprat ke punggung kaki Prisha. "Tidak akan! Sadar ya kamu itu tidak seberapa cantik. Karir? Halah! Tukang kembang doang! Jaman sekarang itu mah tidak ada apa-apanya. Value kamu itu mengenaskan. Modal selangkangan saja tidak akan bikin keponakan saya bertahan lama dengan kamu! Masih banyak cewek-cewek muda di luar sana termasuk Kayara! Jadi, tidak usah banyak ngimpi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Художественная прозаPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...