Perempuan Favorit.

7.9K 882 120
                                    

Paradikta mematutkan pandangannya ke seberang kursi tempatnya duduk di meja makan. Tempat yang biasanya diduduki oleh istrinya—well, of course Saniya—malam ini kosong. Namun, anehnya, Paradikta justru seperti sedang beradu tatapan dengan sosok itu.

Bola mata bak jelaga milik Saniya yang di tiga tahun belakangan membuat Paradikta menggila saking dia memujanya tengah menyorotinya sensi.

Tentu, Paradikta sudah tahu tentang apa yang kira-kira tengah sibuk perempuan itu pikirkan.

"Boleh aja sih selingkuh."

Nah, kan. Saniya selalunya seperti kembang api. Dia meledak terkadang tanpa disangka-sangka. Bikin terkejut, tetapi tak pelak ya ... dia memukau. Maybe, that's why he is falling for her.

"Aku bilang kamu boleh aja selingkuh." Suara tegas Saniya yang hampir-hampir Paradikta lupa karena sebulan ini dia sudah tak lagi berkesempatan mendengarnya bak membelai daun telinganya yang dingin terembus AC.

Well, Paradikta ingat di salah satu hari dalam tiga tahun mereka Saniya pernah berkata begitu dan entah mengapa tiba-tiba memori itu mencuat kembali.

"Kok?" Lalu, ini suaranya sendiri, Paradikta nyaris ingin menertawakan nadanya yang keheranan.

"You know, it is hard for humans to be monogamous."

"Even monogamy is hard to the human species doesn't mean it isn't possible or even desirable. So, jangan bercanda ya."

"Siapa yang bercanda? Emangnya kamu nggak seneng gitu ngelihat Sekretaris kamu yang cantik itu?"

"Yudis cantik?" Paradikta terkekeh.

Saniya meresponnya dengan memicingkan matanya yang besar. "Loh, Sekre kamu bukan cewek?"

"Udah resign bulan lalu karena mau nikah."

Dan, bukanlah suatu hal aneh jika Saniya tidak tahu. Selama tiga tahun pernikahan mereka, masih bisa dihitung jari kok jumlah kunjungannya ke kantor Paradikta. Laki-laki itu sih maklum sebab sebagai dokter anak, Saniya memang sibuk sekali. Maka, sering kali di sela-sela jadwalnya yang tak kalah padat Paradikta bakal mengalah untuk mengunjungi perempuan itu ke kliniknya. Toh, ya, agaknya dibanding Saniya justru Paradikta lah yang lebih sering rindu.

"Resign?" Saniya mengulang dalam semi gumaman. "Suaminya nggak ngijinin dia kerja?" sambungnya kemudian sedikit terdengar menuduh.

Paradikta pun mengangguk tenang. "Alasannya sih seperti itu."

"Kalau kamu nggak ngijinin aku kerja, aku sih jelas ya pasti langsung minta pisah."

"Saniya ...."

"Ingat apa yang aku omongin pas pertama kita ketemu di acara makan malam perjodohan itu? In this marriage we are partners are equal. Kalau kamu bebas mencapai semua impian-impian kamu, kenapa aku enggak?

"Tapi, tenang aja kalau kamu selingkuh aku nggak akan ceraikan kok." Saniya terlihat lanjut menyuap puding dessert-nya. "Tanya dong kenapa!" sambungnya sambil terus mengunyah.

"Aku nggak ada tertarik selingkuh buat apa nanya-nanya sesuatu yang mustahil aku lakukan?" balas Paradikta pongah.

"Hati siapa yang tahu kali?"

"Aku kenal hati aku. Dan, dia cuma mau kamu. Case closed!"

Saniya mendecih. "Tapi, serius, kalau pun kamu selingkuh misalnya sama Sekretaris kamu—" Paradikta sontak melotot sehingga Saniya lekas menyambung, "Of course, gantinya Yudis nanti, atau teman kerja kamu, atau ... Prisha."

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang