"Huachim!"
"Huachim!"
Prisha yang semula sedang menata piring-piring berisi menu makan malam—tidak cukup spesial memang, karena dia termasuk telat ke warung sehingga cuma kebagian membeli beberapa bahan untuk memasak sayur sop daun katuk dicampur wortel dan jagung manis, beruntung Umi Amilah yang sebelum hujan sempat mampir ke rumah memberinya beberapa butir telur ayam kampung hasil ternakannya sendiri, yang lantas Prisha olah menjadi dua menu yaitu semur telur kecap juga gyeran-mari—yang telah selesai dimasaknya ke atas satu-satujunya meja besar di rumah itu pun langsung melemparkan kepalanya kilat untuk mengamati sepasang ayah dan anak yang barusan saja kompak bersin hingga kini tampak sedang duduk bersila pada tikar sambil berebutan selimut.
Heran! Padahal Prisha sudah memberi dua, tetapi Paradikta bisa-bisanya tidak mau mengalah pada buah hatinya sendiri.
Owh, bukan untuk yang pertama kalinya juga kan?
Dalam kurun satu bulan saja mereka tinggal bersama, Prisha bahkan sudah berkali-kali menyaksikan betapa egoisnya pria satu itu sebagai orang tua. Mulai dari larut berduka sendirian, mengabaikan anaknya sampai-sampai Naga seolah dipaksa berpikir sekaligus berperilaku lebih dewasa dari usianya. Namun, ya, seperti halnya Prisha yang tidak pernah bisa membenci ibu tak peduli semenyakitkan apa pun beliau memperlakukannya selama ini. Naga pun mungkin juga begitu. Dia tetap menganggap Paradikta sebagai orang yang dia pentingi dan sayangi. Sehingga mendapat perhatiannya entah sekecil apa pun adalah berharga.
Di tengah gemerisik bunyi hujan disertai angin yang menyapu lumayan lebat di luar hingga membuat suara gemersisik ranting-ranting yang saling bergesekan rembes ke dalam rumah, sahut-sahutan bersin yang sesekali mengudara di ruang tamu sempit rumah Prisha juga terus terdengar seiring langkah-langkah yang dijejak oleh perempuan yang kini sudah membawa dua gelas susu pada nampan—well, tadi sepulang dari nonton kambing-kambing mandi di sungai tahu-tahu anak buah Uwa Koswara memberi dua botol besar susu segar dari peternakan sapi mereka, katanya sih untuk Naga—yang barusan baru saja Prisha hangatkan, Prisha juga mendengar Naga yang batrainya masih penuh terus-terusan seru mengulang ceritanya tentang domba-domba.
"Di belakang rumah enggak bisa ya, Papa, iya?" Prisha sudah bergabung di ruang tamu lalu mendapati satu cengiran Naga yang langsung menyambut gelas susunya dengan suka cita.
"Terima kasih, Unda," ucapnya pintar.
"Manalah bisa," sahut Paradikta pendek ikut menerima susu bagiannya—well, dia memang tak suka teh, tapi dia nyaris nggak pernah menolak kopi atau susu, lagi pula ya kali Prisha dan Naga mampu menghabiskan seluruhnya hanya berdua saja—sambil, tahu-tahu mengedipkan matanya pada Prisha yang sontak bikin perempuan itu ingin balas memutar bola matanya jengah. Dih, laki-laki itu pikir dia sedang apa? Tebar pesona? Kepada Prisha dan di depan Naga? Yang benar saja!
"Kenapa enggak bisanya, Papa?" Naga kembali menarik atensi. "Kan sama-sama aja. Tadi Unda juga lihat kan iya?" Manaruh gelas susunya yang telah tandas, Naga lantas memandangi Prisha sembari manggut-manggut seolah meminta Prisha untuk ikut membenarkan persepsinya. "Kambingnya lari-lari di rumput. Kan belakang rumah rumputnya juga besar-besar bisa buat kambingnya lari. Beda apa?"
"Kan tadi kamu bilang mau lihat doang kenapa sekarang mau melihara?" gerutu Paradikta.
"Kasihan Papa yang kecil yang kayak kucing itu loh."
"Lebih kasihan juga dia kalau dipelihara sama Aga."
"Kenapa?" Mata Naga yang mendadak sendu mencari wajah Prisha. Dia jelas ingin didukung. Lagipula kenapa sih Paradikta? Jika memang tidak mau memberi izin ya tinggal bilang, tapi tidak perlu dengan bahasa yang seolah mendiskreditkan Naga kali!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Genel KurguPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...