Sejak awal kepindahannya, orang-orang di kampung seperti meliriknya dua kali—kendati tentu tidak secara terang-terangan, dan Prisha tahu itu bukan jenis lirikkan menyenangkan, well mereka dalam diamnya yang berbalut sentuhan senyum basa-basi semi beramah-tamah seakan-akan sedang berusaha keras guna melarung segunung rasa penasaran.
Ya, penasaran mengapa Prisha yang masih muda tiba di sana untuk mengurus satu kebun yang telah lama terbengkalai pun tak seberapa luas, dan bukannya merantau di kota?
Penasaran mengapa Prisha hanya sendirian juga tak pernah bergaul?
Penasaran apa saja yang dilakukan Prisha di dalam rumah sewaannya selepas seharian mengasingkan diri di kebun?
Penasaran mengapa Pak Yudha yang gosipnya meninggal gara-gara dibunuh oleh keluarganya di Jakarta sana justru memercayakan kebunnya kepada Prisha?
Siapa sih gerangan Prisha? Benarkah dia anak dari Pak Yudha? Namun, bukannya anak Pak Yudha sedang dipenjara karena sudah membunuh ayahnya sendiri? Dan, bukannya anaknya itu laki-laki bukannya perempuan?
Sayangnya kabar-kabar itu cuma sampai di tengah-tengah perkumpulan yang rutin tercipta di gerobakan tukang sayur. Tak pernah ada yang betul-betul berani mengonfirmasinya pada Prisha.
Walau begitu tidak berarti Prisha tak pernah dengar dan tahu mengenai apa yang orang-orang kampung pikirkan tentangnya.
Prisha selama ini cuma ya ... menahannya. Karena, selain kampung di mana kebun Bapak berada praktis dia tak punya tujuan untuk pulang.
Jika kembali terusir, memang bisa ke mana lagi Prisha?
Maka, berpura-pura tak mendengar segala selentingan yang terus berkembang ke sana-kemari soal dia, menurut Prisha abai adalah cara terbaik untuk bertahan. Tentu, di samping dia juga berupaya buat tak sekali pun bikin masalah atau bikin repot warga di kampung. Hidup dengan seminimal mungkin terlihat juga terdengar nyatanya membuat Prisha sukses menetap hingga nyaris tiga tahun.
Sialannya, Paradikta datang serta mendadak mengacaukan segalanya.
Prisha masih ingat sepulangnya dia dari membeli sabun cuci di warung ada rombongan ibu-ibu sedang nongkrong, yang bagai dejavu kembali meliriknya bersama pandangan beraroma menilai pun menghakimi layaknya di awal-awal kepindahannya ke sana.
Tak perlu punya telinga setajam silet yang bisa dia pakai untuk menguping apa yang sibuk mereka gunjingkan dalam rentangan jarak bermeter-meter. Dengan kedatangan Paradikta yang mencipta ribut-ribut sampai Pak RT turun tangan saja sudah jelas betapa Prisha yang tahu-tahu tak lagi lajang akan menjadi buah bibir ter-hits.
Gosip mengenai perceraian Pamela Harris sang Selebritis bahkan sekejap saja longsor tergusur oleh gosip Prisha yang menikah sama duda.
Well, mungkin tak akan tambah panas sih andai gosip itu berhenti di topik tersebut saja. Namun, tahu kan bahwa lidah tak bertulang? Semakin kamu bicara panjang, maka semakin kamu akan dicap sebagai yang ter-update. Tak peduli informasi yang disebarkan boleh jadi sebatas hoax, orang toh akan tetap asyik mengerumuni bagai sekawanan semut yang menemukan sebongkah gula.
Dan itulah yang kini sedang terjadi.
"Kenal di mana coba mereka teh?" Obrolan ini tadi terjadi di teras rumah Bu RT. Terdapat segelintir ibu-ibu yang menjinjing termos dan keranjang
Sepertinya sih baru pulang dari ladang. Sengaja mampir buat berbagi update kabar terbaru."Mana lah mungkin atuh orang jualan kembang doang kenalannya Calon Anggota DPR!" Prisha tadi mendengarnya ketika mau berangkat ke warung.
"Mungkin-mungkin saja atuh ari jaman sekarang mah. Apalagi dia setiap minggu ke Jakarta. Kadang malah dua kali seminggu perginya. Mungkin nggak sengaja kenal di sana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...