Malam Pertama.

8.2K 880 60
                                    

Nine Fifty belum terlalu ramai, mungkin karena jam 9 kurang 10 menit ini masihlah tergolong sore bagi muda-mudi Jakarta buat datang party dan berjoget.

Paradikta nggak pernah peduli terhadap party lebih-lebih joget itulah mengapa ketika night club 9.50 ini baru buka dia langsung duduk di bagian bar-nya yang bergaya ala-ala Jepang Kontemporer, saat Bartender berkepala plontos di sana lantas menyapanya ramah, "Kayak biasa, Bro?"

Oh, shit! Padahal mereka baru sering bertemu di sebulanan ini, tapi Paradikta dinilai sudah punya kebiasaan.

Namun, ya, andai tidak bertemu Malio beserta minuman-minuman racikannya dia mungkin betul-betul akan merealisasikan keinginannya untuk menggali lubang lain bagi dirinya sendiri di sisi makam Saniya.

Okay, orang boleh jadi akan mengatai dukanya berlebihan. Namun, pernahkah orang itu kehilangan seseorang yang sudah seperti separuh dari napasnya?

At the start it would seem that everything was the same as it had always been. Dia tidur lalu bangun, tapi di satu titik hanya untuk menemukan kosong menyebar di mana-mana. Mulanya wajahnya yang tak lagi nampak ke sudut mana pun Paradikta menoleh. Kemudian, suaranya bahkan tak lama menyusul pula harumnya. Rumah tempatnya berpulang mendadak tak lagi dia kenali saking asingnya efek kepergian yang dicipta Saniya.

It's hard because he was missing what he had lost, not just his wife, but also the person who used to look after him.

Lagi, tidak ada yang berlebihan menurut Paradikta bila itu untuk Saniya.

"Tokyo mule deh gue nyetir sendiri," ujar Paradikta.

"Beneran nih, Bro? Cukup emang cocktail doang? Nanti kan bisa manggil sopir, atau pakai aja sopirnya Si Bos kayak biasa." Si Bos yang dicatut Malio adalah salah satu teman nongkrong Paradikta. Di antara semua orang dalam circle-nya mungkin dialah yang paling bahagia karena setelah lulus dari Al-Azhar bukannya menjadi Pemuka Agama sesuai paksaan orang tua, dia justru mendirikan night club di Senopati.

Benar-benar cari mati!

But, thats's cool! Andai saja Paradikta sedikit saja bisa seberani itu. Sayangnya, dia mungkin bakal menggelapar macam ikan di daratan seumpama memaksa lepas dari lautan milik Eyang dan Ayahnya.

"Gue ada perjalanan jauh habis ini," aku Paradikta tak lama.

"Ke akhirat kali ah lo kata jauh!"

Pria itu cuma mesem getir sambil mengeluarkan sebungkus rokoknya dari saku celana.

Andai.

Yah, andai saja Saniya tak berkali-kali datang dalam mimpi serta memintanya untuk tetap tinggal, Paradikta tentu tak akan ragu-ragu menyusulnya.

Dia baru mau meminjam korek pada Malio saat rokok yang telah terselip di bibirnya tahu-tahu ditarik keluar secara paksa oleh sambaran tangan asing.

"Apa nih?" Orang yang melakukannya lantas bertanya sambil meneliti rokok itu bak barang langka. "Udah ngerokok, mabokan pula. Penganten baru ngapa malah kelayapan sih lo, hah? Sadar woy! Nggak boleh keluyuran!"

"Berisik."

Well, awalnya Paradikta terkejut siapa orang yang tahu bahwa dia telah menikah sore tadi? Padahal selain petugas KUA, di sana cuma ada sopirnya, dia, Prisha, Naga beserta susternya, juga ... Pamela Harris.

Damaja yang merupakan keluarganya saja bahkan tak lebih dulu dia kabari, tetapi perempuan ini ternyata mengintili mereka hingga ke sana sekaligus berkesempatan menonton segalanya.

Dan, ya, Pamela yang sudah berganti pakaian. Tak lagi gaun rumbai-rumbai dangdut berwarna fuschia yang mencolok mata seperti tadi sore saat dia menjadi saksi pernikahannya. Malam ini, dia tampil cantik nan sexy dengan selembar crop top denim bertali spaghetti yang tak sekadar mengumbar pusar atau pun payudara, tapi juga bahunya yang menarik mata-mata jelalatan para hidung belang buat menyentuh, kini sedang mengikat rambut panjangnya setelah memastikan sukses menginjak-nginjak rokok Paradikta sampai jadi serpihan di lantai.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang