"Masih ada ribuan boutique, atelier, even designer lainnya di Jakarta yang bakal kasih kamu baju. Tidak perlu kecewa."
Di sebelah Prisha, bukan lagi Pak Rahman—Sopir berusia awal lima puluhan yang sempat menjemputnya dari Bogor dan dia kira akan mengantarkannya lagi nanti—justru Paradikta lah yang sedang duduk menyetir coba membawanya mendatangi workroom lain di bagian Barat ibukota, sembari sesekali dengan satu tangannya dia mengarahkan burger yang tadi sempat laki-laki itu dapatkan dari drive thru untuk digigitinya santai.
Berusaha mengabaikan apa yang dilihatnya atau pun samar-samar suara cecap yang dicipta oleh mulut Paradikta, Prisha lantas lamat-lamat mendesah.
Nyetir sambil makan?
Meski mungkin nggak se-hectic sekarang, tapi dulu saat pertama Paradikta bergabung di Cévo, meniti karirnya sebagai staf rendahkan hingga cepat menanjak jadi Manajer, dia memang sering sekali makan di mobil sih.
Argumennya kala itu, terlahir sebagai seorang Raden Paradikta Djati Danendra yang merupakan pewaris semata wayang Cévo Group dengan hanya diberi waktu 24 jam dalam sehari itu ... kurang!
Prisha seharusnya sudah lupa. Selama ini dia begitu bertekad melupakan segala hal yang berkaitan dengan pria ini. Namun, sungguh, hasilnya ternyata cukup mengecewakan. Sebab, walau sayup-sayup dia seperti baru mendengarnya kemarin sewaktu Paradikta melalui suaranya yang eargasm dengan lugu bercerita, "Makan di mobil memang bikin harus sering-sering nyuci mobil, but it's totally fine. Karena, saat aku habisin waktuku cuma buat bela-belain makan di breakfast nook, di sisi lain Rega dan VER mungkin sudah di jalan buat ketemu klien. Dan, kamu tahu kan, Prish? Eyang Gustiraja Yang Terhormat nggak bakalan suka mendengar kabar kalau Cévo longsor jadi brand nomor dua di negeri ini."
Well, sudah Prisha bilang kan? Laki-laki ini memang sudah banyak berubah. Biar pun ternyata kebiasaannya makan di kaki lima atau dalam mobilnya belum sepenuhnya hilang.
Yah. Lagi pula persaingan VER dengan Cévo atau ya dalam hal ini para Eksekutif-nya Norega Altriano Prakostama juga Raden Paradikta Djati Danendra yang merupakan teman seangkatan dalam satu sekolah itu agaknya akan berlangsung selamanya. Setidaknya, kalau keduanya bisa bareng-bareng bertahan di tengah gempuran produk fashion luar negeri yang belakangan ekspansinya makin menggila.
Prisha tak bertendensi memuji, tetapi Paradikta—khususnya versi yang dulu dia kenal—berhasil duduk di singahsananya tidaklah mutlak karena privilege-nya sebagai satu-satunya putra Damaja, tetapi juga karena dia tidak mudah membiarkan dirinya berleha-leha. Sedikit kesan baik yang sekarang praktis tertutup oleh banyak kesannya yang tergolong menjengkelkan utamanya di mata Prisha.
"Kamu sengaja?" datar Prisha, akhirnya merespons.
Tidak pada Paradikta, dia memilih mengarahkan lurus-lurus pandangannya ke depan. Mengawasi Granmax Pick Up dengan muatan membumbung tinggi, yang andai tali-tali pengaitnya lepas kardus-kardus itu mungkin akan langsung berguguran menimpa mobil Paradikta.
"Apa?" Suara Paradikta sedikit tak jelas. Dia tentulah masih mengunyah. Boleh jadi untuk suapan terakhir.
Memilin keras selempang tasnya, Prisha sama sekali tak terdengar beremosi saat menjabarkan, "Mempertemukan saya dengan Ilma?"
"Oh."
Sebelum Bapak pergi, Prisha sangat mudah tertawa. Namun kini, dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya guna mengeluarkan segaris senyuman miris.
Oh, katanya? Setelah berhasil menjebak Prisha untuk diumpati bukan lagi sebagai pembunuh, tapi bertambah gelar jadi perusak rumah tangga orang?
"Kamu merasa senang?" gumam Prisha getir.
![](https://img.wattpad.com/cover/265988745-288-k459845.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...