Nanti Naksir.

5.7K 700 68
                                    

"Bukannya kemarin saya udah bilang untuk nggak usah datang?"

Tapi, pernahkah Prisha pergi setelah diusir-usir oleh ibunya?

Bertahun-tahun setelah bapak meninggal dan tiada henti diperlakukan secara hina oleh ibu, Prisha bahkan lebih memilih menahan setiap derita, juga rasa perih yang mengiris hatinya karena terus ditolaki ibu dibanding lari kabur demi menyelamatkan diri, serta meninggalkan sang ibu.

Bagaimana pun sama seperti Prisha, ibu pun hanya punya dirinya mengingat hubungan beliau juga tak pernah akur bersama keluarga besarnya, yang hingga sekarang tak pernah Prisha tahu apa alasannya.

Omong-omong soal sendirian, Prisha sedang menata makanan yang barusan diantar oleh perawat, ditambah ada beberapa yang dia bekal dari rumah—sebelumnya, dia telah berbicara dengan dokter bukan sekadar tentang kondisi teraktual ibu, tetapi juga hal-hal apa saja yang sekiranya dapat Prisha lakukan selaku wali untuk membantu menjaga kestabilan sang ibu misalnya dengan mengelola pola makan serta mengatur menu-menu apa saja yang dipercaya akan baik untuk pasien jantung bocor seperti ibu—di atas meja.

Sebetulnya, dia ingin sekali bertanya mengenai di mana saja ibunya selama tiga tahun ini tinggal? Lalu, siapakah gerangan wanita yang bersama ibu dalam foto yang dibagikan oleh Paradikta? Kalau memang sakit parah mengapa ibunya tidak memilih untuk pulang ke tempat keluarganya? Dan, yang paling penting mengapa butuh tiga tahun bagi ibu untuk kembali menemui Prisha? Apa yang ibu mau darinya sebenarnya?

Namun, keberanian Prisha untuk memulai pembicaraan toh kalah telak dari ibu yang masih setia menghakiminya.

"Masak kamu?" Ibu yang duduk di sofa bersama wajah yang masih terbilang pucat sekaligus tihang infus berdiri di dekatnya menunjuk remeh rantang yang Prisha bawa. "Happy banget kamu pasti. Udah mah punya suami yang kamu cintai. Duitnya juga nggak berseri. Sekarang, nggak perlu pusing-pusing mau makan apa, yah? Rumah punya sendiri, pembantu ada sendiri. Hidup kamu udah bener-bener kayak cerita Cinderella, yah? Bedanya Cinderella nggak pernah jadi pembunuh nggak kayak kamu!"

Kadang Prisha bertanya-tanya, apakah jika dia masuk penjara ibu akan berhenti memakinya? Atau, justru tak akan ada bedanya? Pada dasarnya, sebelum dituduh sebagai pembunuh bapak, ibu memang sudah tidak menyukai Prisha kok.

Apa karena aku bukan anaknya? Tiba-tiba bisik prihatin ini datang. Dan, langsung Prisha singkirkan dalam sekali gelengan.

Hish! Semua gara-gara asumsi-asumsi ngawur yang rajin Paradikta cekokan di depannya. Awas saja dia!

"Tapi, Prisha, kamu tahu siapa, dan seperti apa keluarga dari orang yang kamu nikahi? Orang-orang kayak mereka ini ada di level yang berbeda. Kamu nggak akan bisa mengerti mengenai jalan pikiran mereka. Kamu juga mustahil paham tentang apa saja yang bisa mereka lakukan. Kamu pikir orang-orang berduit ini nggak tahu soal masa lalu kamu?"

Lalu, apa? Kalau Damaja maupun Gustiraja tahu perihal masa lalu Prisha, memang hal buruk apa yang bisa terjadi kemudian? Dia dipisahkan dengan Paradikta? Bukankah itu terdengar bagus? Prisha selalu mau itu lekas terjadi. Kalau bisa malah tak perlu sampai dia harus menunggu satu tahun!

"Jadi, perhatikan setiap langkah kamu. Kamu mungkin lagi happy-happy-nya sekarang ini. Cuma, nanti siapa yang akan tahu? Kebahagian yang nggak berhak jadi milik kamu bisa dengan mudahnya hilang. Kecuali, kalau dalam pernikahan ini kamu mungkin kepikiran untuk punya anak dari Nak Radi."

Tangan Prisha yang mengupas apel berhenti. Saking mendadaknya ujung pisaunya yang tajam bahkan gagal dia stop untuk tidak menusuk kecil bagian ujung telunjuknya. Pun, mustahil ibu nggak menangkap reaksi ganjil itu. Prisha bahkan belum bicara apa-apa saat ibunya terdengar aktif mendecih-decih.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang