"Masih boleh kobam, Bro?"
Paradikta menyadari bahwa Nine Fifty lebih ramai dari malam-malam normalnya. Mungkin karena kasak-kusuknya sih malam ini bakalan ada special performance dari DJ, yang merangkap juga sebagai Idol Kpop beken. Entah sepopuler apa, tetapi bukaan Asia tour-nya di Jakarta malam ini bahkan sanggup mengundang muda-mudi yang biasanya akan mikir dua kali untuk spending money di club pricey sekelas Nine Fifty.
"Mau gue bikinin yang kayak biasa, Bro?" Bartendernya juga masih mengenali dan menyapa ramah Paradikta. Well, beberapa minggu lalu tempat ini pernah menjadi rumahnya untuk pulang saat kenyataan terus menyudutkannya bagai seorang pesakitan dalam medan perang.
"Si Seleb Berisik nggak datang?" tanya Paradikta sambil duduk di kursi paling pojok. Sengaja tidak mau terlalu dekat dengan orang-orang asing yang biasanya memang tak pernah kelihatan duduk di sana.
"Seleb Berisik?" Malio balas berteriak di bawah dominasi musik yang menghentak-hentak.
"Yang selalu nyuruh gue buru-buru pulang padahal baru datang?"
Malio membulatkan mulutnya. "Owh, Pamela Harris? Nggak tahu tuh udah lumayan lama juga dia nggak mampir sini. Sibuk syuting kali?" Pemuda yang kepalanya mulai ditumbuhi rambut-rambut tipis itu lantas mengedikkan santai bahunya.
"Sayang sekali."
"Kenapa? Pengen disuruh pulang?"
Paradikta mendengus kayak kerbau lapar, sebelum meminta, "Manhattan on the rocks, please?"
Malio mempertontonkan raut ragu-ragu. "Serius, Bro? Bini lo ngijinin gitu kalau teler?"
Paradikta sempat menilai Malio sebagai pribadi yang tak mau tahu. Namun, agaknya dia nggak sepenuhnya begitu. Dengar saja suaranya yang barusan menggelegar. Orang-orang yang duduk di depan bar tentulah kini tahu kalau Paradikta adalah laki-laki yang sudah menikah. Well, ada bagusnya. Toh, Paradikta memang paling malas kalau mesti meladeni atau mengusiri wanita-wanita penasaran yang kadang sengaja mendekat setelah mereka mengamati Rolex atau koleksi Ted Baker yang dia kenakan.
"Gue bisa pindah ke sebelah kalau lo nggak niat jualan," ancam Paradikta, sepenuhnya bercanda. Tentu, karena dia sadar kalau cuma di Nine Fifty lah tempatnya aman untuk mabuk-mabukan.
Sembari memutar bola matanya jengah, Bartender muda itu pun langsung mengocok-ngocok cocktail shaker di tangannya. Sementara Paradikta memerhatikannya bersama pikiran yang kembali terbang jauh ke rumah sakit. Menerka-nerka, apakah Prisha sudah pulang? Atau, dia justru memilih untuk tetap tinggal?
Bagaimana kalau wanita tua itu nekat? Paradikta nggak tahu apa yang telah Gustiraja janjikan padanya, tapi bagaimana kalau dia tetap teguh terhadap ambisinya untuk menyakiti Prisha? Toh, dia tidak akan rugi apa-apa. Dia sedang sekarat. Katup jantungnya bermasalah. Sudah lumayan lama. Bahkan dia seharusnya sudah menjalani operasi jantung yang berharga ratusan juta. Tadi saja dia sempat sesak napas parah saat akhirnya Paradikta turun tangan menolongnya. Jadi, mau menyakiti Prisha atau tidak, besar kemungkinannya dia akan tetap mati jika tidak segera dioperasi.
Hish! Prisha Prisha Prisha!
Emangnya itu mantra? Kenapa Paradikta terus sibuk merapalkannya?
Berniat meredakan kepalanya yang berisik mengingat-ingat Prisha, Paradikta kemudian melemparkan matanya ke arah dance floor. Nggak seperti biasanya di mana di sana kosong karena Paradikta acap kali berangkat terlalu dini, malam ini kendati DJ utama belum mentas, tetapi sudah banyak orang melantai untuk berjoget seirama musiknya. Musik bersisik yang sebenarnya tidak pernah menjadi selera Paradikta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Ficción GeneralPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...