Menangisi Orang Yang Sama.

13.3K 1.1K 50
                                    

Jam 6 tadi harusnya Prisha sudah berangkat ke Stasiun Tebet. Malam ini, mestinya dia ada di salah satu gerbong KRL yang membawanya pulang menuju Bogor, bukannya malah berjalan saling bersisian bersama Jesika yang sepertinya punya cadangan batrai di tubuhnya sehingga setelah aktivitas super-padat mereka di La-Mona pun, dia masih saja sanggup mengoceh sepanjang-lebar ini.

"Ngeselin banget Mas-Masnya tahu, Mbak! Mana dia marah-marahin Mbak Monnya parah banget. Matanya nyampe melotot-melotot! Padahal, kan nggak sepenuhnya salah La-Mona. Wong dianya aja yang lupa request soal message khususnya. Kita udah sempat tanyain, eh dianya nggak ada respons. Giliran ditolak sama cewek yang dia kasih bunga, kok ya La-Mona yang dia salahin?!"

"Terus, ya Mbak masa nih ya tadi Mas Satria eh, Mbak Prish tahu Mas Satria nggak sih?" Jesika menoleh ke arah Prisha yang berjalan di sebelah kiri di trotoar yang bila mereka susuri maka akan mengarah ke daerah kosan Jesika.

Dan, Satria, ya? Tahu banyak sih enggak. Prisha sebatas tahu dari cerita selintas-selintas yang tak sengaja dia dengar dari anak-anak di La-Mona tiap kali dia ngantar bunga. Bahwa, di luar dia mantan Mona, Prisha mungkin cuma tahu jika pria itu dokter. Entah dokter apa. Mona sendiri memang bukan tipikal cewek yang gampang mengumbar mengenai persoalan pribadinya sih—atau, sebab Prisha kan hanya orang luar yang boleh jadi tak terlalu dianggapnya penting, urusan mereka selama ini toh sebagian besar juga selalu berpusat di perkara bunga. Yang jelas, kendati tak mengenal Satria secara langsung, Prisha pernah sesekali melihat wajahnya dan dia tahu orangnya.

Oleh sebab itu, ia mengangguk atas pertanyaan Jesika.

"Nah, tadi sore Mas Satria kan ke La-Mona tuh, Mbak. Pake hujan-hujanan pula macem film India. Beteinnya, dia malah ngacau! Sok-sok inisiatif bantuin gegara kita kekurangan orang, eh akhirnya malah cuma bikin bouquet-bouquet pada berantakan semua karena dia suka motong kembangnya kependekan! Rugi pasti tuh Mbak Mon! Mana pesenan buat ke rumah dukanya Mbak Saniya hampir-hampir aja pada telat kekirimnya! Pokoknya, hari ini fix sih sebel banget ihhhh!"

Prisha cuma meringis guna menanggapinya sebab, dia nggak ngerti juga mesti ngomong apa? Lagi, dia memang lebih terbiasa banyak mendengar daripada banyak berbicara.

"Mbak Prish nanti di depan, sebelum belok ke gang, mampir beli pecel lele dulu, yuk? Jes nggak masak nasi, soalnya buru-buru tadi berangkat ke La-Monanya," ujar Jesika yang agaknya nggak peduli-peduli amat sih terhadap reaksi Prisha yang terkesan selalu ala-kadarnya.

"Boleh," akhirnya Prisha menimpali singkat.

"Eh, iya gimana tadi Mbak Prish di rumah dukanya? Katanya, banyak banget pelayatnya, ya? Ada live report-nya juga tahu, Jes sempat ngintip dikit sambil arranging, hehe," aku Jesika.

"Ya gitu," balas Prisha.

Yang tentunya nggak terasa memuaskan untuk Jesika, sehingga dia masih ngotot memburu, "Beneran banyak kayak artis?"

"Hm."

"Pantes sih. Siapa coba yang nggak sedih kehilangan orang sebaik Mbak Saniya? Wakil Presiden aja nyampe nulis captions panjang banget di media sosialnya buat mengenang Mbak Saniya. Denger-denger, padahal dia udah dipersiapin buat ikutin jejak orang tuanya terjun di politik tahu. Tapi, umur siapa yang tahu kan, ya? Yang pasti semua jasa dan kebaikannya bakal selalu dikenang. Khususnya, sama anak-anak yang udah banyak Mbak Saniya tolong dan selamatkan. Nanti, kalo anaknya gede, dia pasti bangga banget sama Mamanya."

Iya. Jesika benar.

Baik soal banyaknya orang yang berduka atas kepergian Saniya.

Mengenai sosoknya yang amat dicintai entah itu oleh masyarakat, kerabat, begitu pula keluarga.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang