Naga telah selesai menjalani operasi. Sama sekali tak merengek. Prisha ingat tadi anak itu hanya menangis sekali begitu sadar dari bius lalu dipuk-puk oleh Damaja.
Lantas, ayahnya?
Dalam bayangan Prisha semula setiap ayah ya kayak Bapak. Yang bahkan akan tergopoh-gopoh menyamper ke sekolah ketika hari hujan dan Prisha lupa tak membekal payung. Ternyata, ada juga ayah sejenis Paradikta yang teramat suka menempatkan anaknya sebagai hajat terakhir. Actually, jika bukan untuk dioperasi Prisha mungkin bakal coba mengerti—biar pun rasanya tetap berat sebab demi Tuhan, Naga belum ada tiga tahun, bagi Prisha anak itu bahkan tergolong masih bayi.
Okay, kendati Paradikta memang tidak ambil libur, tetapi karena dia remote working hari ini, ya Prisha kira Paradikta tak akan menjalani meeting panjang bahkan sampai dia tak ada waktu untuk mengantar Naga ke ruang operasi. Bikin anak itu cuma celingak-celinguk sedih kemudian berakhir mengulum bibir bak orang dewasa sewaktu Damaja mengelus-ngelus sayang kepalanya.
Well, memang bukan operasi besar, tetapi semua hal bisa saja terjadi. Tidak belajar kah dia dari pengalamannya tentang Saniya yang sehat-sehat saja namun tahu-tahu pergi tanpa pamit hingga tak bisa dia lihat lagi?
Bagaimana kalau dia juga kehilangan Naga?
Apa tidak semakin nelangsa hidupnya?
Cih, betul-betul manusia egois!
Prisha baru keluar dari bilik kamar mandi saat matanya langsung menemukan orang yang sibuk meeting itu sudah berdiri menyender di kusen pintu, sambil melipat lengan di dada dalam ruang perawatan Naga yang siang ini sepi ditinggal oleh Nur Ami yang lagi beli ketupat, juga Damaja yang sempat izin pergi sholat.
Tampak teliti mengamati Prisha dari ujung kaki ke ujung kepala yang memakai midi dress hitam dengan aksen lengan charlotte puff, Paradikta sontak mengangguk-angguk. "Lumayan," komentarnya tanpa diminta.
Mengabaikannya yang berlagak jadi juri, Prisha berjalan ke arah sofa. Ponselnya yang tadi ketika dia berganti baju ditaruhnya di meja tampak menyala.
Sepertinya sih dia menerima satu pesan baru. Mungkin dari Mang Asep yang dia titipi kebun untuk tiga harian ini, atau mungkin juga dari Mona yang siapa tahu—sebab, dia sangat eksis dan punya banyak relasi—sudah dengar mengenai kabar pernikahannya dengan Paradikta? Atau, bukannya Prisha berharap lebih-lebih kepedean. Namun lebih daripada itu, biasanya Prisha juga suka dikirimin pesan oleh ... Najandra.
Ah, ya, Najandra. Saat pergi kemarin Prisha belum bicara apa-apa. Baik kepada Najandra atau pun Umi. Prisha tidak tahu apa dia punya utang kewajiban untuk menjelaskan kepada Umi yang kemarin terlihat kebingungan, sedih, dan kecewa di saat mereka sebenarnya cuma sebatas tetangga. Akan tetapi, Najandra adalah satu-satunya orang yang dia percaya—sampai hari ini, mungkin juga kedepannya. Prisha selalu menceritakan segalanya dan apa adanya kepada pria itu.
Okay, Najandra bukan tipikal orang panikan. Dia juga tak pernah buru-buru menyimpulkan apa-apa yang terjadi seorang diri tanpa mendengar duduk perkaranya lebih dulu. Terlebih, mereka juga punya hubungan profesional. Hanya saja ....
Prisha baru mau meraih ponselnya untuk tahu siapa gerangan yang menghubunginya selepas beberapa hari ini ponselnya itu bak mati suri saat Paradikta menyela melalui kalimatnya, "Tidak make-up dulu?"
Urung mengeceknya, ponsel itu langsung masuk ke saku sesaat sebelum Prisha refleks memutar tumitnya demi menghadapi wajah songong Paradikta.
"Memang sih muka pucat kamu itu bakal menciptakan kesan kalau kamu sedih dan terpukul dengan kondisi Naga. Kamu juga mungkin kalau beruntung bisa mematahkan stereotype soal ibu tiri tidak punya hati yang suka tidak peduli. Bagus! Apalagi kamu tidak seperti sedang akting." Laki-laki itu kembali manggut-manggut seraya sesekali mengusap dagu. "Cuma, jujur saja ya di kamera nanti kamu akan kelihatan kumal. Ini first impression loh. Semua orang tahu selevel apa istri saya sebelumnya. Kalau kamu tidak masalah akan dibandingkan dengan Saniya yang sempurna ya terserah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Ficción GeneralPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...