Biar pun waktunya bersama Bapak terbilang pendek, tetapi benak sempit Prisha nyatanya selalu mengingat tiap detail kenangan yang sempat tercipta dan telah lama berlalu di antara mereka.
Yang tersegar mungkin ketika Prisha berusia dua belas. Dia yang pulang awal dari kegiatannya sebagai peserta didik baru SMP dijemput Bapak naik motor. Seperti biasa mereka langsung menuju rumah. Namun, sewaktu Prisha turun dari boncengan motor Astrea Bapak yang kalau malam lampu depannya suka sering mati, tiba-tiba Bapak mengangsurkan satu kresek hitam yang terasa sedikit berat saat Prisha jinjing.
"Dipakai, ya? Bapak tunggu di depan. Kalau Prisha sudah siap baru nanti kita berangkat ke rumahnya Uwa Ilyas." Cuma itu yang Bapak sampaikan demi menjawabi raut bertanya-tanya di wajah belia Prisha.
Tetapi, Prisha toh tak menuntut penjelasan lebih dari itu sebab begitu tiba di kamar dan dia buka kresek itu, netra Prisha pun sontak dibuat membulat sempurna tat kala menemukan di sana ada selembar baju terusan berwarna cokelat berhiaskan kain brokat di sepanjang bagian lengannya.
Dari khas bau kainnya yang terhidu di tepi hidung Prisha, juga hang tag nama random brand yang biasa dijual di pasar maka telah menjelaskan kalau itu ... baru.
Ya, baju baru untuk Prisha. Dan, kalau sampai ibu tahu, beliau tentu akan marah-marah seharian suntuk. Karena, lumrahnya beli baju ya kalau mau lebaran. Di luar itu Prisha jelas nggak pernah diizinkan.
Sayangnya, Bapak mungkin melihat kalau beberapa baju Prisha sudah kekecilan sehingga beliau bela-belain menentang rules-nya ibu hanya agar Prisha bisa tampil seperti halnya anak-anak yang lain di acara pestanya Uwa Ilyas.
Tanpa sadar, Prisha mendekap baju itu erat-erat dalam pelukannya tanpa dia tahu kalau itu akan jadi pemberian terakhir Bapak.
***
"Bapak nanti bakalan nangis juga nggak?"
Prisha dan Bapak sudah berada di rumah Uwa Ilyas yang telah dihias sedemikian rupa lengkap dengan tenda-tenda lebar yang memuat banyak sekali ornamen berbahan dasar bunga-bunga melati serta janur kuning demi menyambut acara pernikahan sang putri.
"Kenapa, Sayang?" sahut Bapak sembari membantu Prisha untuk mengantre pada kawasan stand soto di prasmanan.
Prisha sama sekali nggak melepaskan cubitannya di kain belakang baju batik Bapak—mengingat tumpah-ruahnya tamu yang hadir di tempat Uwa Ilyas, tak heran bagaimanapun beliau seorang PNS di Dinas Perhubungan jadi rekanannya pun tersebar di mana-mana—jujur saja, dia takut terpisah setelah tadi Prisha juga sempat kehilangan jejak ibu yang memang diminta ikut bantu-bantu sejak beberapa hari lalu di sana.
"Kayak Uwa Ilyas tadi kan nangis pas Teh Muti sungkeman. Bapak gitu juga kalau Prisha menikah?" Prisha masih ingat betapa Uwa Ilyas yang mukanya kelihatan galak sampai-sampai acap kali dia main ke rumah, Prisha selalu sembunyi saking seramnya eh, tadi siapa sangka kalau air matanya bisa deras bercucuran.
"Mungkin? Atau, sebelum itu Bapak malah sudah menangis," balas Bapak sembari menolehi Prisha dengan satu senyuman.
"Memangnya sedih ya, Pak?" Suara Prisha berbalapan bersama suara Penyanyi yang sedang beraksi menyanyikan lagu Sampai Akhir Waktu hasil request-an mempelai pria di atas panggung.
"Sedih dong."
"Karena, pernikahan itu sesuatu yang buruk makanya bikin sedih?" tebak Prisha sok tahu sehingga Bapak yang mendengarnya spontan tertawa ringan.
Well, Prisha memang nggak ngerti-ngerti amat soal pernikahan. Meski di acara lulusan kemarin di sekolah ada pementasan drama yang mengusung acara nikahan adat suatu daerah sebagai inti ceritanya, Prisha tetap belum punya gambaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...