+62 812-2424-8088: Melampirkan satu foto.
Prisha telah bersiap untuk tidur sewaktu pesan itu datang. Awalnya, dia ingin mengabaikannya. Lagi pula, memang apalagi tujuan Paradikta—yaps, nomornya tidak sudi Prisha namai, meski sejujurnya dia ingin menggantinya dengan Si Rusuh, Si Brengsek, dan Si yang terburuk lainnya—menghubunginya kalau bukan buat cari gara-gara.
Tak menampik, Prisha memang sempat tergelitik menebak-nebak foto apa yang sekiranya pria itu lampirkan. Agak takut juga sebetulnya karena selain sedikit sulit diprediksi, Paradikta terang nekatan sekali.
Well, bukannya Prisha mau ber-negative thinking—walau menurut Najandra, dia cenderung tanpa sadar terlalu sering melakukannya. Namun, serius deh, untuk mengerjainya laki-laki itu bisa bertingkah apa saja.
Tiada henti mengklakson di tengah malam buta jelas masihlah belum apa-apa. Kalau sudah bertekad jangankan menghadapi Prisha, Gustiraja—manusia yang paling ditakuti oleh Paradikta kecil sekaligus orang yang membuatnya bertekuk lutut untuk menghamba—saja ditantangnya hingga dia rela merantai Prisha dalam perkawinan, yang perempuan itu yakin bahwa sesungguhnya andai punya pilihan lain menikah lagi adalah hal yang tak ingin juga kok Paradikta jalani. Bagaimana pun menikahi perempuan lain sama dengan mengkhianati Saniya kan?
Lalu, bicara soal foto. Bagaimana kalau itu foto yang tak seharusnya Prisha lihat? Maksudnya, nyaris mustahil Paradikta mengiriminya foto pemandangan malam kota Jakarta, misalnya. Karena, ya buat apa? Kecuali, mungkin pemandangan pria itu yang sedang check in hotel di tengah malam begini. Di toiletnya mungkin? Yang, ugh, entahlah. Rasanya, membayangkannya saja sungguh seram sekali!
+62 812-2424-8088: Sudah tidak penasaran?
Tak lama berjeda, pesan berikutnya datang.
Penasaran?
Tentu, ada secuil rasa penasaran yang Prisha miliki.
Prisha bahkan sedikit menahan napasnya ketika jarinya tahu-tahu bagai bergerak sendiri. Di mana berikutnya dalam satu kali klik, dia lantas berhasil mengunduh satu berkas lampiran itu.
Satu foto yang kemudian otomatis muncul, memenuhi layar ponselnya. Foto yang bikin netra Prisha spontan membeliak. Bukan sebab itu adalah potret berisi pemandangan Paradikta yang lagi leyeh-leyeh di hotel sambil topless—sumpah, asumsi yang amat random nan memalukan ini entah bagaimana bisa berani mampir di pikiran Prisha, tetapi sungguh Paradikta bisa saja melakukannya bila itu demi mengerjai Prisha, tidak sekali-dua kali tingkahnya berubah layaknya anak-anak hingga akhirnya merepotkan Prisha—atau hal-hal saru lainnya. Meski, kalau dipikir lagi ya kali Paradikta sesembrono itu. Foto-foto sejenis itu memang bisa menyerang telak Prisha, utamanya bikin perempuan itu tak nyaman, tapi pada akhirnya toh pasti bisa digunakan untuk menyerangnya balik. Paradikta Djati Danendra tentu tidaklah setolol itu.
Lagi, foto yang Prisha lihat saat ini ternyata merupakan foto ibu.
Iya, ibunya.
Bukan foto terbaru sih. Karena, di foto itu ibu kelihatan masih sangatlah muda. Beliau tengah berpose dengan merangkul bahu seorang anak perempuan yang juga tampak sebaya dengannya. Mungkin mereka teman? Atau, sepupu? Atau, Prisha seperti pernah melihatnya, tapi tak ingat di mana.
Pun, foto tersebut Prisha rasa belum pernah dia lihat sebelumnya dalam tumpukan album di rumah.
Lalu, lebih dari segalanya dari mana Paradikta dapatkan ini, dan apa tujuannya mengirimnya kepada Prisha?
Apa sesungguhnya yang sedang pria licik itu diam-diam rencanakan?
Prisha masih mengamati foto ibu yang sedang tertawa lebar—tawa yang bahkan Prisha tak pernah lihat di seumur hidupnya pernah mampir di wajah ibu—pada ponselnya ketika satu pesan Paradikta hadir lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Художественная прозаPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...