Paradikta sempat percaya kalau dia pandai menilai orang.
Gustiraja yang ketika kecil sering membuang muka untuknya. Paradikta pikir itu bukanlah karena Eyang tak menyayanginya. Paradikta kira andai dia bisa lebih membanggakan maka, Eyang tak akan ragu-ragu lagi untuk menunjukkan rasa kasihnya. Bagaimana pun dia tetaplah cucu semata wayangnya Gustiraja.
Well, dia pernah senaif itu.
Namun, ternyata, selama apa pun Paradikta menunggu. Mau setinggi apa pun dia berhasil melompat hingga melampaui kemampuannya dalam mendulang prestasi, toh, Gustiraja tak pernah benar-benar menganggapnya pantas sebagai keluarga.
Lalu, Damaja, sebagai orang tua tunggal, Paradikta pikir ayahnya bisa berperan ganda. Realitasnya, pria itu masih tertatih-tatih hingga tak jarang suaranya kalah lantang dari suara Gustiraja.
Jangankan menjadi sesosok ayah yang sempurna, yang selalu bertahan untuk berdiri di sisinya baik ketika dia keliru atau tidak, gara-gara kurang effort-nya Damaja, Paradikta bahkan tidak pernah punya gambaran baik-baik perihal wanita.
Sampai akhirnya dia bertemu ... Prisha.
Tak ada yang menarik sebelumnya tentang kehidupan sosial Paradikta. Masa-masa sekolahnya nyaris habis buat saling bergesekkan dengan Norega—khusus ini bahkan masih terus terjadi hingga hari ini. Namun, bukan berarti dia tak pernah ada dekat dengan wanita.
Ya, satu-dua, atau tiga? Berapa pun jumlahnya, semuanya main-main belaka.
Lagi, dulu, jujur saja Paradikta sempat jijik berdekatan dengan mereka karena kepalanya tak pernah bisa berhenti menilai bahwa semua perempuan itu mungkin tidaklah jauh berbeda dengan ibunya. Ya, ibunya yang tiada bosan didefinisikan oleh Gustiraja.
Siapa pula yang tidak trauma kan?
"Ibumu murah!"
"Ibumu nakal!"
"Ibumu menganggap kamu kesalahan!"
"Makanya, Ibumu mau bunuh kamu!"
Namun, segala bayang-bayang mengerikan juga interpretasi yang lama mengendap di benaknya bak kulit mati yang menyatu dengan tubuh perlahan-lahan mengelupas seiring dia mengenal lebih jauh sosok ... Prisha Jelita.
Bukan wanita yang banyak bicara. Bersamanya, justru lebih banyak Paradikta yang bercerita. Namun, mungkin karena itu pelan-pelan dia merasa nyaman sebab di hidupnya dia jarang didengarkan.
Well, Prisha juga bukan yang paling cantik. Paradikta bahkan nggak pernah lihat di-touch-up bila pun habis makan goreng-gorengan.
Sama sekali nggak se-trendy cewek-cewek yang sebelumnya Paradikta temui. Kalau ngantor kemejanya mentok-mentok warna putih, hitam, atau abu-abu. Dipadu-padan pakai celana bahan, serta rambut lurus yang dibiarkan tergerai.
Ck! Jika dipikir-pikir apa menariknya coba?
Akan tetapi anehnya, bila mereka lama berpisah contohnya kayak weekend, mata Paradikta seperti haus buat bisa cepat-cepat melihatnya lagi.
Maka tak heran, waktu itu Paradikta bisa menyimpulkan kalau hanya Prisha lah yang pantas dianggap sebagai ... temannya yang sejati.
Merasa amat mengenal perempuan itu, kendati Paradikta tak pernah berterus-terang di depannya, tapi bila pun suatu hari Paradikta harus menikah, mungkin laki-laki itu akan memasukkan nama Prisha sebagai salah satu kandidat wanita yang mesti dicoba untuk dilamarnya.
Bagaimana pun mending menikah sama teman sendiri daripada wanita yang disodorkan Eyang, yang kerjaannya jerit-jerit kalau kukunya kotor.
Menjereng masa depan sama Prisha biar pun tanpa cinta, Paradikta yakin dia bisa bertahan lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Ficción GeneralPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...