"Dia udah membunuh Bapaknya."
"Dia udah membunuh orang."
"Dan, sekarang dia masih bebas berkeliaran."
Jantung Paradikta bertalu keras saat dia mendadak memaksa mendudukkan diri untuk selanjutnya mendengar pertanyaan lirih ini, "Kenapa?"
Setengah linglung dia tergesa-gesa menoleh.
Di sisi ranjang dalam jarak cukup dekat dengannya bayang-bayang Prisha yang membawa pisau tahu-tahu mengabur lalu lenyap sepenuhnya tergantikan oleh sosok Prisha yang saat ini tampak sedang memegang gelas.
"Mimpi?" tebak Paradikta, tak sekadar menjawab tanya yang dilontar Prisha, tapi juga dirinya sendiri. Meski suaranya agak tak yakin sebenarnya sebab sungguh apa yang dilihatnya tadi terasa nyata sekali. "Mimpi buruk," imbuhnya, menyapu gamang, sambil mengucek mata dan kemudian seperti ditampar oleh realitas.
Tunggu dulu deh!
"Kamu bangun?" seru pria itu selepas berhasil mengumpulkan nyawanya yang seperti tercerai-berai, seraya melompat dari ranjang guna menyongsong Prisha dan nyaris saja menyentuh lengannya. Namun, Prisha seperti biasa segera menarik mundur dirinya. Memberinya jarak seolah mereka memanglah haram untuk berdekat-dekat.
Duh!
Perempuan itu lantas hanya mengangguk sambil lalu.
"Syukurlah." Paradikta terang-terangan bernapas lega. Demi apa pun, mendapati ekspresi Prisha yang datar ternyata jauh lebih baik daripada mendapatinya terbengong-bengong kayak cangkang kosong. "Tapi, serius, kamu merasa perlu pergi ke dokter?"
Paradikta tentu masih ingat pesan Galaliel, bahwa tidak ada yang bisa menjamin kalau Prisha tak akan kambuh lagi. Berapa lama dia akan terdiam layaknya kemarin mungkin Prisha sendiri yang mengalaminya bahkan tak mampu guna menakarnya. Lalu, mengingat soal mimpinya juga ....
"Nte?"
Lamunan mengerikan Paradikta berisi adegan berulang-ulang Prisha yang mengacungkan ujung pisau sirna bertepatan dengan dia yang buru-buru memutar leher ke arah sumber suara.
Di depan pintu kamar mandi Naga yang seharian kemarin menangis hingga kini dari jarak Paradikta berdiri bahkan sepasang mata anak itu masih terjaring kontras membengkak sedang pendek-pendek melangkah sambil takut-takut mendongak mencari wajah Paradikta. Entah sejak kapan persisnya, tetapi kalau diingat-ingat semenjak meninggalnya Saniya, Naga sering melakukannya seolah-olah dia takut telah berbuat salah. Seakan dia takut Paradikta akan kecewa dan bak ada jarak di antara mereka.
Apakah memang Paradikta lah yang telah membuatnya begitu?
"Aga sudah pipisnya?" Prisha yang kemarin kehilangan suara, sekarang sudah berjongkok, menyejajarkan tubuh dengan Naga, sekaligus menarik atensi anak itu berpindah kepadanya.
Paradikta bahkan melihat perempuan itu mengangsurkan gelas berisi susu yang sejak tadi dibawanya ke arah Naga.
Pikiran picik kalau Prisha berlaku baik cuma karena sedang di depannya, bahkan tak punya kesempatan untuk mampir di kepala Paradikta.
"Terima kasih, Nte." Naga bersama senyuman terkembang menerima, dan langsung saja meminumnya. Karena, Naga bahkan menganggap perhatian—well, mungkin Prisha tidaklah sungguh-sungguh berniat perhatian karena tindak-tanduknya masih tergolong terlalu kaku, dia boleh jadi cuma sekadar mengikuti insting-nya—lagi, Paradikta tahu Prisha bukanlah orang jahat.
Pembunuh adalah sejahat-jahatnya manusia!
Peringatan tersebut terus tersiar setiap kali Paradikta dirasa lengah. Mungkin alam bawah sadarnya khawatir kalau-kalau dia lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...