"Kamu melihara kucing?" Paradikta dulu menanyakannya karena setiap kali dia jalan bareng Prisha terus mendadak mesti melipir ke minimarket demi beli permen—Paradikta sebetulnya merokok, sejak SMA malah walau tidak terlalu aktif, cuma semenjak kenal Prisha dan pernah mendapati perempuan itu terbatuk-batuk tiap kali tak sengaja menghirup asap hasil nyebat cowok-cowok di kantor, Paradikta sontak memilih mengabaikan batang-batang tembakaunya kalau sedang di dekat Prisha, tak peduli jika mulutnya pelan-pelan memahit sehingga dia mulai berganti mengunyah permen yang padahal sejak kecil selalu menjadi makanan haram tuk dia konsumsi—Prisha akan diam-diam menghampiri rak berisi beraneka ragam makanan kucing.
Terkadang perempuan itu menyergap dua bungkusan besar dry food. Lalu, di lain minggu, Prisha bahkan membeli banyak vitamin-vitamin yang katanya bagus untuk tumbuh kembang anakan kucing.
Tak heran kan kalau lama-lama Paradikta jadi penasaran sebab, perempuan itu terlalu rutin melakukannya.
"Jadi, beneran melihara? Seberapa banyak?" Paradikta dulu memburu.
Namun, Prisha hanya menggeleng. "Enggak kok."
Tapi, di tangannya sudah ada satu kantung plastik bermuatan kaleng-kaleng wet food beraneka rasa.
Bikin alis Paradikta sontak terangkat sebelah. Merasa aneh. "Terus, ada yang nitip beliin pakan kucing? Atau ...." Paradikta kemudian sengaja menggantung kalimatnya dengan netra yang intens menyipit.
"Atau?" gumam Prisha waspada.
Sembari mendengkus, Paradikta lantas menembak melalui nada yang sok-sok kesal, "Kamu punya teman baru, ya? Bisa-bisanya dia nyuruh-nyuruh kamu! Aku yang udah lama temenan sama kamu aja nggak pernah tuh nyuruh-nyuruh. Siapa sih?"
"Apa?"
"Orangnya? Teman baru kamu itu?"
"Enggak ada."
Raut Paradikta yang semula sempat tertekuk lenyap entah ke mana saat dia menyimpulkan, "Jadi, cuma aku dong?"
Senyum Prisha malu-malu terkulum waktu balas bertanya, "Senang?"
Paradikta saat itu berjalan mundur, menyembunyikan telapak tangannya di saku celana, sambil mesem-mesem dia kemudian mengujar, "Sama. Temen baik aku juga cuman kamu. Dan, aku ... senang."
Kala itu, mereka masihlah di awal dua puluhan. Mendengar kata-kata Paradikta, Prisha sontak kesenangan. Dia tak pernah punya teman sebelumnya. Jadi dia pikir, Paradikta memang tulus. Sebab, Prisha juga menganggapnya sebagai orang nomor satu dari hati. Segalanya terasa masih cukup sederhana ketika itu. Terlebih waktu Paradikta bertanya dan membuat dada Prisha sontak nakal berdebar, "Anyway, Prisha? Kamu suka banget ya sama kucing? Lebih suka sama kucing, atau sama aku?"
Tahun-tahun penuh harapan milik Prisha yang ternyata palsu.
Tahun-tahun tatkala mereka masih sama-sama naif dan lugu itu nyatanya toh telah lama berlalu.
Saat ini, dengan dua mata kepalanya Paradikta baru saja melihat seekor kucing berdarah-darah. Sementara itu, Prisha yang dulu hobi sekali berjongkok sambil menggenggam makanan untuk kucing liar, justru sedang tampak kaku menyentuh bagian kepala si kucing dengan leher yang nyaris putus. Darahnya yang menetes-netes bahkan sampai mengotori dua telapak tangan perempuan itu. Menjadikannya pekat memerah.
Uh, sungguh, mengerikan! Paradikta sampai mual dibuatnya.
"Bukan!" Prisha patah-patah menggelengkan kepalanya. Ada gurat cemas, takut, dan bak baru tertangkap basah mejeng di raut wajah pucatnya. "Semuanya tidak seperti yang kamu lihat!"
Kata-kata yang semestinya segera Prisha serukan. Namun, realitasnya, hanya napas perempuan itu lah yang terdengar keras memburu.
Paradikta bahkan telah menelan salivanya kelat sambil pelan-pelan memberanikan diri untuk melangkah ke depan begitu yakin tak melihat benda tajam yang bisa Prisha gunakan terserak di sekitaran perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...