To: Galaliel Tandiono ( Psychiatrist, Amera Mind Care )
Sorry banget, gue tahu lo sibuk. Cuma, kalau memungkinkan sebentar saja mampir. Bisa?
Paradikta tidak kenal-kenal amat sih dengan kontak yang dinamainya sebagai Galaliel tersebut.
Beberapa hari lalu Paradikta sempat ke barber shop. Lalu, papasan dengan Miko. Well, dibanding Rega, mengobrol bareng Miko selalu terasa lebih mudah. Walau kedua-duanya sama-sama songong, setidaknya Miko mungkin masih menganggapnya sebagai mantan teman satu sekolah sehingga kalau kebetulan bersinggungan, ya suatu hal yang wajar bagi mereka untuk saling bertukar satu-dua obrolan.
Kayak kemarin itu kejadiannya pas beberapa minggu saja setelah kematian Saniya. Paradikta jelas sangat berantakan. Mungkin sudah mirip Petapa yang baru keluar dari goa. Terus-menerus mendapat desakan buat balik ke kantor, pria itu akhirnya memilih mengambangi barber shop random demi rapi-rapi di sekitaran Setiabudi, tanpa tahu kalau itu milik Jatmiko Sadewo.
Pria itu ... jujur, tak terlalu ingat bagaimana mulanya. Kenapa Miko yang saat itu nyaris pulang justru berbalik untuk menemaninya duduk sambil mengajaknya bicara ketika jelas-jelas dia sedang malas mengangkat rahang?
Paradikta pun tak ingat mereka berasa-basi dengan cara macam apa. Hanya saja di ujung perbincangan mereka sebelum Miko terpaksa pamit setelah ditelpon oleh sang istri, laki-lak itu memberinya satu kartu nama.
Di kertas itu tertulis:
dr. Galaliel Tandiono, M.Biomed, Sp.KJ
Psychiatrist Amera Mind Care
Entah apa pertimbangan Miko memberinya kartu itu. Mungkin di matanya Paradikta terlihat sedang sangat putus asa? Atau, dia mungkin dejavu? Atau, diam-diam pria itu sempat berlangganan Psikiater juga? Seperti dirinya, Miko pun pernah kehilangan seseorang yang cukup berarti baginya dengan begitu tragis dan tiba-tiba.
Namun, ya apa pun niat Miko gerangan, Paradikta tak pernah tertarik untuk mengunjunginya.
Dia ingat hanya coba menelpon sekali. Basi-basi menanyakan beberapa hal terkait jam praktik dokter Galaliel. Namun, pada kenyataannya dia tak pernah sekali pun datang. Well, dia pernah berkendara sampai depan gedung rumah sakit pusat Amera, hanya saja balik lagi. Karena mendadak dia meragukan keputusannya.
Lagi, pemikiran ini lantas tumbuh subur di benaknya:
Memangnya dia nih kenapa?
Paradikta memang bersedih ditinggal Saniya. Dunianya mendadak tak sekadar mengecil, tapi juga menghitam. Beberapa suara bahkan ikut lenyap dari tepi telinganya sampai-sampai ke mana pun langkahnya pergi yang dirasa hanyalah sepi. Betul-betul bagai terjebak di kubangan lumpur hisap.
Namun, Paradikta baik-baik saja. Napasnya masih lancar terhela kok. Apalagi hari-hari berikutnya dia sibuk dengan Prisha, rencananya untuk Gustiraja, juga kembalinya dia ke Cévo. Sama sekali tak ada lagi pikiran untuk bertemu profesional meski malam-malamnya selalu terasa lebih lama. Meski matanya kesulitan untuk terpejam. Walau saat dia terjaga pun kadang dia masih menemukan kelebat-kelebat samar sosok Saniya yang seperti menghakiminya karena dia terus sehat-sehat saja. Serta, bisik-bisik di sudut kepalanya yang memintanya untuk terkadang mengambil pisau di dapur untuk kemudian dia sarangkan pada tubuhnya sendiri.
Memang mengerikan.
Memang menyedihkan.
Memang dia seakan hanya denial.
Akan tetapi, jujur, semenjak bersama Prisha, pelan-pelan bisik itu memudar. Mungkin karena Paradikta ingat dia belum boleh mati sebelum membuat Gustiraja membayar segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Narrativa generalePrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...