Bukan Makan Malam Biasa.

7.4K 859 75
                                    

Makan malam bersama?

Sejak awal Prisha tak berniat datang. Seumpama Paradikta tak menemukannya di La-Mona, jika pun terlalu sulit baginya untuk pulang ke Bogor sebab hujan mengguyur kian deras maka, sepertinya dia akan menerima ide Mona buat kembali menginap di tempat Jesika. Kesinggahannya yang cukup sering boleh jadi bakal bikin gadis berkerudung itu tak kerasan. Namun, ya apa punlah akan coba Prisha pertimbangkan tuk lakukan, yang jelas duduk di salah satu bangku bersandaran tinggi, sambil menghadapi meja luas nan panjang di mana barusan saja hadir seorang pelayan menuangkan red wine ke masing-masing gelas mereka tidaklah masuk dalam rencananya.

Di seberangnya, sedang duduk dengan latar belakang panorama gemerlapnya gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta yang tak gentar diterjang dahsyatnya hujan, Paradikta tampak rileks menggoyang-goyangkan gelas wine sembari sesekali menghirup aroma yang menguar dari bibir gelasnya.

Ugh, jangankan tertarik buat mengikuti jejaknya, Prisha sendiri masih begitu sibuk terduduk di bawah tatapan menyelidik yang tiada henti ditebar oleh sesosok perempuan paruh baya yang menempati kursi tepat di sebelah Paradikta. Augh, ya tadi Prisha nyaris duduk di sana sih sebenarnya sebelum bahunya sengaja Tante itu senggol hingga mau nggak mau dia berakhir untuk menempatkan diri secara bersisian bersama satu wanita lain yang tampak lebih muda.

Lima belas hampir menit berlalu, Prisha sempat mengira mereka akan berlomba saling mendiamkan hingga setidaknya menu utama dihidangkan, tetapi perempuan yang terlihat jengah memelototi Prisha agaknya sudah tak bisa lagi bersabar menahan-nahan mulutnya dari berkomentar.

"Sejak tadi nih saya coba ingat-ingat, kamu yang pas itu lusuh dan numpang makan di apartemennya Radi kan?" tuduhnya judes sembari menuding jijik telunjuk berkuteks merahnya ke wajah Prisha.

Lalu, menumpang makan? Entah kapan tepatnya itu. Dulu, Paradikta memang sering mengajaknya makan berdua. Beberapa kali Prisha juga diundang ke apartemennya. Terutama bila pria itu sedang ingin membawa sisa pekerjaannya ke rumah. Sebagai Asisten di salah satu departement yang kebetulan dikepalai langsung oleh pria itu di awal-awal dirinya berkarir di Cevo, kadang Prisha sulit mengelak untuk tidak ikut ke mana pun Paradikta pergi bekerja. Namun, di beberapa kesempatannya mampir, Prisha tak merasa pernah bersemuka dengan wanita ini kok.

"Saya kira kamu waktu itu gembel tahu yang dipungut sama Radi eh, ternyata memang beneran gembel sih, ya? Bedanya sekarang kamu dipungut Radi buat menggantikan posisi Saniya."

"Tante!"

"Mbak!" Paradikta dan Damaja menegur berbarengan.

Sudah tak lagi menaruh perhatian terhadap gelas wine-nya Paradikta yang dua tangannya kini tergeletak di atas meja, Prisha lihat telah mengepalkan buku-buku jarinya kuat. Jemari panjang yang belum lama ini sempat menggoda tangannya itu ... mungkin sanggup memecah meja mereka melalui sejumlah tinjuan saja.

"Saniya tidak akan terganti." Tajam, dingin, pun mengancam. Bukan cuma caranya bicara, tapi juga dari caranya memicingi wanita itu. Paradikta dalam sekejap saja terlihat ... berbahaya.

"Iyalah iyalah sesuka kamu nyebutnya mau apa," tanggap wanita yang agaknya tak kenal takut itu. "Toh, emang kalau dia bener jadi istri kamu berarti mau nggak mau dia mengambil peran Saniya sebagai Mamanya Naga dong. Mama KW tapi!"

"Mbak Awi bisa tolong lebih dijaga kata-katanya?" Damaja yang hadir dalam tampilan tak kalah formal dari anaknya—laki-laki itu mengenakan tuxedo, dihiasi pula oleh seikat dasi malah—menyentil dari bangku terujung, hierarki yang membuatnya betul-betul terkesan bagai kepala keluarga.

Sementara itu yang ditegur bibirnya justru otomatis manyun-manyun. Tak hanya itu jarinya lekas dia larikan untuk membetulkan sanggulan di kepala sambil kemudian merepet tanpa lelah, "Apa sih yang kamu lihat dari dia, Ja? Kamu lihat istri kamu yang udah mati di diri gembel ini gitu, hah?"

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang