Prisha duduk sebelah-menyebelah bersama seorang pria yang baru saja berbuat onar dan ditonton puluhan massa di ruang tamu rumah Umi Amillah. Sementara, persis di depan mereka sudah ada Pak RT yang apa pun situasinya entah mengapa wajahnya selalu tampak tenang.
Prisha berupaya memfokuskan atensinya saat gemuruh bisik di sekeliling rumah terus menerus mendengung bagai suara kumbang yang kehilangan kandang. Saling sahut-menyahut menebar opini yang rata-rata berisi kalimat-kalimat semacam ini:
"Atuh, saya bilang juga apa, Ibu-Ibu! Dia teh nggak pernah mau bergaul karena apa? Ya, karena malu diam-diam punya kerjaan nggak bener!"
"Iya ih saya aja lihat dia tuh sering pulang malam-malam. Belakangan malah terang-terangan dianter sama mobil!"
"Tah eta! Saya juga pas hujan-hujan itu sempat lihat, Bu Siti! Kalau lewat atuh papasan dia mah mana pernah cik ngejawab kalo ditanya mau ke mana teh. Loh loh loh, ternyata atuh gimana mau jawab kalo perginya buat jualan?"
"Jual diri kitu maksudna? Haha."
"Eh, eh, tapi bener itu lelaki yang datang teh suaminya?"
"Halah! Paling bekas pelanggan!"
"Nikah siri mungkin?"
"Ck, ari saya sih yakin dia mah selingkuhan, atau mentok-mentok ya istri kedua!"
Datang memecah gemuruh itu, Prisha mendengar deheman keras Pak RT yang lantas mulai bertanya tanpa nada menghakimi, "Jadi, Nak Prisha sudah menikah?"
Andaikan Prisha mahir berekspresi dia mungkin telah menunduk malu karena dengan pertanyaan itu maka dia telah ketahuan menipu seminggu lalu. Sayangnya, Prisha jelas tidak lagi tahu apa yang sepantasnya dia ulas di wajahnya kecuali datar.
Kemudian, dia bahkan belum menjawab saat Paradikta yang sejak tadi duduk sambil bersandar di sofa bak raja ujug-ujug menyerobot enteng, "Benar, Pak. Seperti yang tertulis dalam buku nikah di depan Bapak." Melalui jari pria itu menunjuk satu buku nikah berwarna merah marun yang sempat-sempatnya dia bawa sehingga Prisha sih cukup percaya bahwa laki-laki itu boleh jadi telah merencanakan semua huru-hara ini. "Kami baru saja menikah sekitar seminggu lalu," tandas Paradikta sarat penekanan seolah Pak RT yang belum lama ini sekilas membuka-buka lembarannya tidaklah bisa membaca.
Tak terprovoksi oleh Paradikta, Pak RT sontak tersenyum humble. "Jadi, sehabis ini Nak Prisha mau pindah ke Jakarta?"
Pertanyaan itu lagi-lagi dibuat untuk Prisha, tapi sewaktu dia membalas, Paradikta tahu-tahu ikut menimpali sehingga suara mereka kontan tumpang-tindih.
"Tidak."
"Iya."
Okay, Prisha enggaklah berniat ke mana pun. Terlebih tanpa mengantongi info soal ibu. Ingat?
Walau sekarang orang-orang di kampung tentu akan semakin mencibirnya—meski semisal nanti faktanya terbongkar bahwa dia tak sekali pun jual diri, hanya saja sentimen mengenai istri kedua yang memang realita agaknya bakal tetap sulit diterima tanpa pro-kontra.
Namun, Paradikta memang selalu suka cari gara-gara. Sekarang, dia terang-terangan memicingi Prisha layaknya dia seorang penghianat. Padahal, pria itu harusnya juga masih ingat kalau Prisha tak pernah setuju ikut dengannya jika dia saja masih bebal guna menahan informasi tentang ibu yang sesumbarnya dia miliki.
Pak RT mungkin menyaksikan seluruh sitegang itu sampai-sampai mulutnya mulai terbuka—mungkin berniat melerai—hanya saja Paradikta justru lebih dulu memutus kontak mata dengan Prisha untuk berujar sok diplomatis, "Masih akan kami diskusikan." Well, dia mustahil mengalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
قصص عامةPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...