Yang Kamu Butuhkan.

6.7K 855 60
                                    

Bagaimana mungkin Paradikta yang semestinya sedang membersamai Sekjen PPKRI untuk makan siang dalam agenda diskusi rapat politik penting mendadak justru bersama dengan ibu?

Rasa-rasanya mustahil Paradikta batal ke Dapur Sunda. Namun, lebih enggak mungkin lagi kalau ibunya dapat mengetahui jadwal rinci Paradikta.

Apa yang sudah terjadi? Apa yang mungkin telah Prisha lewatkan? Sungguhkah hanya kebetulan saja mereka bertemu? Atau ....

Apakah seperti yang telah dilakukannya pada Najandra, ibu juga diam-diam berinisiatif menghubungi laki-laki itu lebih dulu?

Tapi, untuk apa?

Ibu seharusnya menemuinya di taman sesuai yang perempuan itu minta. Ibu hendak menyampaikan sesuatu. Ibu bahkan melabelinya penting.

Untuk ukuran ibu yang mengaku tidak pernah suka bertemu muka dengan Prisha, kalau sampai beliau bela-belain menjumpainya serta menjilat ludahnya, rasanya ya ... hal yang ibu bawa selepas mereka tak bersua hampir tiga tahun memang cukup berurgensi.

Walau, untuk ukuran ibu yang seumur hidup membenci Prisha, segala effort ini boleh jadi ibu perjuangkan karena beliau yakin apa yang dibawanya akan sanggup untuk mengguncang Prisha.

Tentu!

Bukannya Prisha ber-negative thinking terhadap ibunya sendiri. Namun, karena mereka sudah tinggal bareng-bareng sangat lama, Prisha tahu lah betapa ibu tidak pernah suka melihatnya tertawa lebih-lebih damai dan bahagia.

Apakah Prisha marah? Oh, ya mana lah pantas!

Apa pun yang ibu tunjukkan kepadanya. Baik seluruh kemarahan juga rasa kecewanya wajar kok untuk Prisha terima. Terlebih setelah bapak enggak lagi ada di antara mereka. Dan, Prisha lah yang dituntut bertanggung jawab atasnya.

Namun, ya, kendati berita yang ibu bawa adalah sesuatu yang buruk baginya. Pun, tidak ada jaminan Prisha tak akan makan hati atau bersedih setelah mendengarnya. Prisha toh tetap ingin bertemu ibu.

Itu lah mengapa sekarang Prisha berlarian tunggang-langgang di rumah sakit—tempat yang sebenarnya amat dia benci sebab, di tempat seperti ini lah dulu Prisha harus merelakan tubuh bapak yang hangat berangsur-angsur mendingin.

Serta ya, semoga cukup bapak saja. Karena, bila Prisha juga harus kehilangan ibu maka, dia betul-betul akan sendirian di dunia ini. Setidaknya, memiliki ibu—biar pun wanita itu selalu tak acuh—selalu bikin Prisha berandai-andai bahwa jika dia bertahan hidup sehari lagi, mungkin saja sudah ada hari di masa depan yang Tuhan persiapkan agar mereka bisa kembali bertemu. Terkadang, alasannya bertahan hidup cuma begitu.

Ya, sederhana itu.

"I-ibu saya ... be-liau di mana ...?" Napas Prisha masih menderu satu-satu saat dia akhirnya bisa menghentikan laju kencang larinya tepat di dekat Paradikta yang tengah berdiri menyenderi tembok di lantai lima rumah sakit.

Mengedikkan dagunya secara apatis ke arah satu pintu ruang rawat di hadapannya yang tertutup, Paradikta kontan berkata, "Sedang tidur di dalam."

Jantung Prisha yang di sepanjang perjalanan bak merosot ke kaki, melalui satu kalimat itu saja seakan pelan-pelan menanjak ke dada. "Ibu ... eung, I-ibu saya nggak papa?"

"Why? Kamu berharap sebaliknya?"

Ugh! Apakah ini saat yang tepat untuk Paradikta bersinis ria?

Tidak kah dia bisa melihat kekalutan yang terjereng di wajah Prisha sekarang?

Jika pun niatnya bercanda—well, asumsi yang menyangsikan, mengingat raut Paradikta maupun suara yang dipakainya bicara jelas-jelas mengindikasikan kalau dia bersungguh-sungguh—perlu kah dia lakukan ketika Prisha bahkan belum melihat sosok ibunya selepas dikabari dengan begitu tiba-tiba?

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang