Iya.
Iya?
Semudah itu. Dan, kenapa harus iya yang Prisha gumamkan?
Apakah dia jiper di bawah tatapan Paradikta yang seolah mengancamnya sehingga Prisha merasa bahwa laki-laki itu bisa berbuat apa saja andai kata tidaklah yang dia keluarkan?
Betulkah demikian? Sorotan yang dilayangkan oleh sepasang iris hitam pekat milik Paradikta yang terbias bergetar di bawah sorot kemuning lampu, sungguhkah itu bernada ancaman?
Tidakkah Prisha hanya jengah karena seorang perempuan tua yang baru ditemuinya mendadak begitu banyak bicara dan mencelanya sampai-sampai Prisha berhasrat untuk membuatnya gigit lidah melalui jawabannya.
Manusia rendahkan seperti dirinya tak patut dipersunting, katanya? Perawan tua sepertinya harusnya melajang saja sampai mati begitu? Karena dia miskin sedari lahir maka tidak sepantasnya dia berani bermimpi menjadi Cinderella yang hanya dipaksa oleh ibu tirinya jadi jelata?
Prisha tidak mudah sakit hati. Alasan-alasan semacam itu mestinya tak mungkin menggoyahkannya. Toh, beberapa di antaranya adalah fakta. Jika perempuan tua itu tahu bahwa dia pernah membunuh seseorang, cercaannya mungkin akan jauh lebih recok lagi.
Pun, dia sudah berlari berpuluh-puluh bulan. Dia sudah berjuang untuk tak lagi bersinggungan dengan makhluk bernama Paradikta yang memang sewajibnya dia lupakan.
Namun, apa ini? Kenapa Prisha tiba-tiba takluk hanya gara-gara iya-nya yang singkat?
Semalaman di suasana gelapnya kamar mata Prisha terus tertumbuk kosong pada plafon. Sama sekali tak ingin tidur biar pun dingin yang dicipta hujan serasa mengelusi kulitnya, membuat dia harusnya melena terninabobo di bawah bungkusan selimut.
Lagi, bagaimana dia mudah tidur kalau beberapa jam sebelumnya dia baru saja dilamar orang? Perempuan lain yang mengalami peristiwa serupa mungkin ingin tetap terjaga saking gembiranya. Tapi, bagi Prisha jelas bahwa dia dilema. Sesal akan jawabannya pun kelewat terlambat datang berdampingan dengan tanya berisi: mengapa Paradikta mendadak memilihnya?
Iya yang Prisha beri sendiri bisa saja bermakna banyak. Tak terbatas buat melihat sekali lagi sosok ibu, tapi juga agreement-nya untuk memasuki neraka.
Ah, neraka, ya?
Prisha tak tahu pasti mengapa Paradikta menjadi begitu berbeda. Apakah karena dia merasa tertipu di sepanjang perkenalan mereka?
Apakah dia kecewa karena temannya ternyata seorang pembunuh-which is normal jika Paradikta merasa begitu, come on pembunuhan bukanlah kejahatam biasa, walau dia mengambil kesimpulan sendiri tanpa mau mendengar penjelasan Prisha, tetapi ya itu hak Paradikta for feel disappointed. Terlebih Prisha melenggang persis manusia tak tahu malu selepas mencetak seluruh dosa-dosa itu. Atau, ya, diam-diam Paradikta malah takut kalau Prisha sewaktu-waktu dapat memperlakukannya dengan sama buruknya. Entahlah, tapi wajar bila dia tak mau dekat-dekat Prisha. Dia pewaris tunggal, ingat? Hidupnya haruslah panjang. Skandal juga sebaiknya dia tendang.
Namun ....
Ini belum genap sebulan saat mereka akhirnya bertemu kembali. Toh, bukan pula pertemuan menyenangkan, atau yang diharap-harapkan.
Kebencian di mata Paradikta kala memandang Prisha masihlah terlihat lebat. Apakah dia cukup rasional sewaktu memilih menikah dengan orang yang tak ingin dia lihat?
Prisha cukup yakin ajakan Paradikta tak ada tulus-tulusnya. His marriage proposal, it's like em, there's something fishy about it.
Alasannya menikahi Prisha tentulah tidak sama dengan alasan yang dulu digunakan pria itu untuk mengikat Saniya. Lagi, Prisha pun masih questioning her self mengapa dia sudi menerima pinangan dari laki-laki itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Fiksi UmumPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...