"Saya hanya kaget. Kamu tahu sendiri lah saya tidak pernah takut apa-apa."
Iya kah?
Teriakkannya semalam bahkan lebih keras dari kambing yang mengembik. Lompatannya pun sudah kayak dia atlet lempar galah yang bisa mendarat begitu mudah dan sempurna di atas pangkuan Prisha.
Lalu, apa akunya? Tidak takut apa-apa?
Duh, seolah Prisha nggak pernah melihat dia mengkerut di bawah tatapan menghakimi milik Gustiraja saja, atau betapa satu Indonesia ini buta sehingga tidak pernah melihat air matanya yang berjatuhan kala menerima peti mati Saniya.
Praktis mengabaikan ocehan Paradikta, Prisha yang menjinjing tas sekolah Naga yang telah dia isi dengan bekal sederhana berisi roti dengan rose jam-ternyata dia doyan, kemarin setelah dia menghabiskan bekal sembari menontoni domba-domba mandi, Naga bahkan request untuk dibikininkan lagi mengingat katanya rasanya lucu agak-agak mirip strawberry, tapi wangi, dan wanginya itu kayak wanginya Prisha yang sehari-hari memang beraroma mawar-sekaligus tak lupa rose petal jelly yang sudah jadi, lantas menutup pintu jok belakang setelah memastikan Naga duduk aman di car seat.
Entahlah, anak itu sungguh bergairah buat tetap pergi ke sekolah. Secara ajaib dia bahkan ikut bangun bersama Prisha sebelum subuh. Kemudian, karena kemarin mereka bepergian tanpa sopir maka, Paradikta yang semalam begitu lampu menyala langsung ngacir keluar dari kamar-entah dia tidur atau tidak, tapi dari mukanya yang terkesan lesu sepertinya sih malamnya berat-mau tak mau harus berkendara sendiri dari pagi jika tak ingin Naga dan dirinya terlambat tiba di Jakarta.
Namun, bukannya bergegas, pria yang tadi sempat mengeluh dingin sebab harus mandi subuh-subuh tersebut malah tampak santai saja menyender di kap mobil.
Nungguin apalagi coba dia?
Jangan bilang jika dia ini masih kebelet ingin membahas perihal isu mati lampu?
Malas meladeninya yang mungkin sudah lebih dari sepuluh kali Prisha ada mendengar mengenai penjelasan Paradikta bahwa semalam dia terlalu kaget sampai-sampai refleks naik ke pangkuan Prisha, perempuan itu pada akhirnya toh hanya memberikan satu anggukan kepala supaya Paradikta tahu kalau Prisha dapat menerima alasannya sehingga pria itu harusnya bisa lekas merasa puas, dan berhenti mengungkit-ngungkitnya.
"Kamu sudah bilang pas sarapan," imbuh Prisha diusahakannya agar Paradikta gegas menduduki kursinya di balik kemudi sebelum matahari makin tinggi, dan mereka terlambat, lalu Paradikta melihat celah untuk menyalah-nyalahkan Prisha. Well, lagi dan lagi.
"Ya karena itu faktanya!" sambar Paradikta sedikit menyalak. Aneh. Karena, apa sih sebetulnya yang sejak semalam dia sibuk ributkan? "Saya ingatkan kalau-kalau kamu lupa dan berpikir yang tidak-tidak," lanjutnya seraya menunjuk-nunjuk Prisha.
Lagipula, memangnya kenapa kalau Prisha menilainya berbeda? Apa ruginya dia?
Namun, bukannya masuk ke mobil, sebab dia sudah mengantongi respons yang semestinya dia harapkan Paradikta malah menengadahkan wajahnya dengan dada yang beberapa kali terlihat mengembang dan mengempis secara teratur.
Pagi memang masih awal sekali. Mega merah yang mulai muncul di timur setidaknya membuat penerangan di depan rumah Prisha lebih baik. Tak ayal sejak tadi sudah ada segelintir tetangga Prisha yang lewat untuk meladang. Sebagiannya bahkan sempat menyapa ramah saat tadi Prisha menemani Naga yang meminta untuk sarapan di teras, sembari mengamati mawar-mawar Prisha yang sudah setengah mekar menetes-neteskan embun. Jari-jari anak itu bahkan tak mau diam buat menyapu dengan gemas embun-embun yang mungkin tak pernah dilihatnya di Jakarta. Well, sekali lagi, Naga memang dibesarkan dalam level yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
Aktuelle LiteraturPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...