Sudah Tak Cinta.

8.5K 909 127
                                    

Bukannya Prisha tidak melihatnya. Paradikta jelas tak menyukai Najandra dalam durasi singkatnya pertemuan di antara mereka.

Sahutan-sahutan sinisnya di sepanjang perjalanan menuju Jakarta merupakan ciri-ciri kecilnya.

Dan, pria itu sepertinya bertambah tak suka saja selepas mobil yang Najandra kendarai harus terjebak di tengah traffic jam sesaat setelah keluar dari tol dalam kota—sungguh, alasan yang konyol sebenarnya untuk membenci seseorang mengingat ambulan saja terkadang tidak bisa terhindar dari macet di peak hours ibukota—sehingga bikin Paradikta juga Prisha baru sampai rumah lewat dari jam 9 malam.

Well, Paradikta mesti merelakan untuk men-skip rencana makan malam bareng Eyangnya. Di mana padahal dia sudah bersemangat buat mencari tahu ide-ide busuk apa yang tengah digagas oleh tua bangka satu itu.

Tak bisa melampiaskan amarahnya kepada Najandra yang kini mungkin sudah dengan selamat tiba di unit apartemennya di sekitaran Setiabudi, Paradikta yang berdiri di balik jendela tampak membakar rokok dan menghisapnya dalam-dalam sampai-sampai asapnya berlarian di seluruh ruang kamar.

Dari atas sofa Prisha memerhatikannya. Tangan kiri Paradikta yang tersembunyi di saku atau pun lengan kanannya yang terus bolak-balik menjejalkan batangan rokok guna dijepitnya di celah bibir.

Satu kenyataan lagi yang bak menampar Prisha tepat di muka. Bahwa Paradikta yang dulu dia cinta betul-betul tak lagi ada.

Lagi, kenapa pula dia bisa berdiam di sana? Menyaksikan segala pertunjukan kekalutan Paradikta? Tidakkah Prisha merasa dia sedang membuang-buang waktu?

Sebenarnya, tadi Prisha memang tak ingin masuk ke sana. Tepatnya, ke ruangan yang sama dengan tempat Paradikta berada. Toh, Prisha bisa tidur di mana pun kok. Kamar Naga mungkin? Atau, kamar tamu? Atau, bareng Nur Ami? Di mana pun lah asal tidak dekat-dekat dengan Paradikta.

Namun, Paradikta yang sok berkuasa itu justru mendorong Prisha agar mengikutinya ke satu kamar yang begitu pintunya dibuka langsung terhidulah aroma wanita.

Lalu, begitu pandangan Prisha sejenak berkeliling terjaringlah satu figura besar yang tergantung di sudut dekat pintu masuk. Sama seperti figura-figura di ruang tamu dan keluarga, figuran di sana pun memuat potret kemesraan sang empunya rumah. Maka, sudah relatif jelas tanpa dia perlu bertanya, kamar yang dia pijaki ini adalah bekas kamar Paradikta dan Saniya.

Jujur, rasanya cukup aneh apabila Prisha tidur di sana. Seperti bukan pada tempatnya. Bagaimana pun selama bertahun-tahun Paradikta bersama Saniya boleh jadi melakukan segalanya di kamar ini. Malah bisa dibilang kamar inilah saksi hidup mereka. Memasukkan Prisha ke tempat paling pribadi mereka rasanya seperti sungguh keliru.

Sayangnya, Paradikta mana mau mengerti terhadap ketidaknyamanan Prisha tersebut.

Tak heran saat Prisha tanpa sadar setengah melamun sewaktu mengamatinya. Laki-laki itu justru berdeham sesaat sebelum mengeluarkan peringatan, "Jangan berpikir buat tidur di luar!" Di  sela jarinya Prisha lihat rokoknya telah memendek.

Cih, terlihat sangat natural. Padahal, dulu pria ini bilang paling benci tukang merokok. Katanya, mereka yang gemar membakar paru-paru adalah golongan manusia dungu. Tak hanya merusak tubuh sendiri, tapi juga orang lain. Lantas, sekarang?

Memang paling nikmat menjilat ludah sendiri!

"Akan sangat merepotkan saya kalau nanti Eyang saya dan mata-matanya tahu kalau kita tidaklah akur," sambungnya. Itulah mengapa tak peduli apa yang Prisha rasakan, orang ini tentulah akan tetap memaksa agar Prisha tidur di sana sebab, Eyangnya juga sedang menginap di lantai satu rumah ini.

Uh, sial.

Mana tak ada sofa panjang yang dapat direbahi di kamar ini. Hanya satu sofa single berbentuk bulat yang sekarang menjadi tempat Prisha duduk. Haruskah dia tidur sambil duduk? Well, sebetulnya, Prisha bahkan tak yakin jika malam ini dia bisa jatuh tertidur.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang