Saat Itu, Saat Segala Tujuannya Tiba-Tiba Lenyap.

14.1K 1.3K 37
                                    

Patah hati dan nyaris mati. Entah kapan pastinya Prisha akhirnya menyadari bahwa dia nggak lagi punya tujuan, atau bahkan sebetulnya sama sekali enggak pernah memilikinya.

Dia sejak kali pertama bertemu serta berkesempatan untuk saling mengenal dengan seorang Raden Paradikta Djati Danendra sudah tahu jika ada jurang yang mengiris sangat lebar di antara mereka.

Dan, Prisha bukannya nggak berusaha. Dia selalu mewanti-wanti kepada dirinya sendiri—sekaligus diam-diam mulai sibuk menyusun satu tembok benteng pertahanan—agar nggak sekali pun coba coba terjerembab dalam satu lembah curam bernama 'jatuh hati'. Sebab, kendati tak mampu menebak takdir, tapi lebih dari siapa pun Prisha tahu bahwa mau sememaksa apa pun dia, nyatanya end up bareng Paradikta adalah mustahil.

Oh, ya jelas. Mudah sekali kok membaca skenario berlabel 'takdir' yang biasanya menjerat mereka-mereka yang bukan hanya ningrat, tapi juga konglomerat.

Masih mending sih Paradikta bebas memilih teman—meski enggak dengan teman hidup—Prisha bahkan beberapa kali sempat menyaksikan melalui matanya suatu jeratan 'nasib' yang lebih parah terjadi di circle pergaulan pria itu.

Namun, ya manusia mana memang yang sanggup dengan mudah mengendalikan hatinya?

Aneh. Walau rasa itu toh benar milik kamu sendiri. Namun realitasnya, kamu bahkan nggak punya kedaulatan penuh guna mengontrolnya.

Prisha nggak sekali pun berniat mencintai terlebih bila itu adalah seorang Paradikta, Sang Putra Mahkota dari salah satu group industri fashion ritel yang menggurita. Terkemuka nggak hanya di Indonesia, tapi nyaris separuh Asia. Dunia yang ... sampai mati pun mungkin Prisha nggak bisa relate.

Lagi, kenapa juga dia mesti relate?

Toh, dia memang cuma salah satu orang yang kebetulan ada—biar pun nggak terlampau berdampak—di sekitar Paradikta.

Prisha selama ini ... selalu menganggap pria itu lebih dari keluarga. Sementara hanya jika Prisha nggak salah menyimpulkan maka, Paradikta seenggaknya masih sudi untuk mengakuinya sebagai satu dari segelintir temannya.

Ya, teman.

Prisha harusnya nggak perlu datang. Prisha ingin mengurung diri seperti biasanya. Namun, begitu ia ingat betapa murungnya raut Paradikta tiap kali ia beralasan lupa demi sengaja menghindari pesta megah yang kerap digelar pria itu saban ia berulang tahun. Prisha ... mana mungkin dia bisa tega?

Tak ubahnya para generasi-generasi terkini konglomerat lainnya, Paradikta berafiliasi dengan seseorang sambil membawa sebuah misi penting. Dia nyaris nggak punya teman yang em ... ya, layaknya Prisha misalnya. Yang background-nya betul-betul ala kadarnya. Enggak punya koneksi yang bisa saling dimanfaatkan. Enggak ber-power. Parahnya, soft skill-nya pun sama sekali enggak mentereng. Ugh, sudah begitu Prisha bahkan nggak baik-baik amat. So, rasanya beneran nggak tahu diri banget nggak sih karena, bisa-bisanya Prisha masih saja bandel buat jatuh cinta kepada orang seluar biasa Paradikta?

Pernikahan merupakan acara yang nggak sekadar sakral, tapi juga besar serta esensial, seenggaknya bagi Paradikta dan keluarga. Andai Prisha dapat bersikap egois yang sayangnya enggak.

Lagipula kalau boleh jujur, Prisha ingin melihat Paradikta setelah hampir sebulan mereka nggak saling bertegur dan berjumpa gara-gara begitu sibuknya pria itu dalam meng-handle jadwalnya yang otomatis harus terkena banyak perombakan serta penyesuaian secara mendadak demi menunjang keberlangsungan acara pribadinya.

Selain itu, dia juga ingin melihat sendiri seperti apa gerangan sosok Saniya yang kerap Paradikta elu-elukan dalam setiap obrolan sekaligus pertemuan mereka?

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang