"Gimana?" tanya Paradikta yang sejak tadi berdiri di balik tembok dapur. Membiarkan Galaliel mencoba mendekati Prisha yang seperti terjebak dalam satu dimensi.
Nyaris dua puluh menit sudah berlalu saat akhirnya Galaliel menghampirinya ke dapur, tetapi ketika Paradikta coba mengintip ke ruang tengah tampak tak banyak perubahan besar dalam kondisi Prisha.
Perempuan itu masih memandangi dinding.
Apa yang salah?
"Gue nggak bisa kasih diagnosis tanpa pemeriksaan yang komprehensif." Of course it can take months, and sometimes years, for doctors to accurately diagnose a mental illness. Because, symptoms of mental illnesses often overlap. Paradikta toh cuma berharap Prisha kembali mau bicara ketika dia tadi memutuskan untuk menghubungi serta meminta bantuan dari Galaliel. "Tapi, gue mungkin bisa kasih beberapa saran," imbuh pria yang katanya langsung datang dari kediamannya sebab hari ini memang jadwal day off-nya.
Kendati tak terlalu lega, Paradikta tetap mengangguk untuk ragu-ragu bertanya, "Apa perlu ke rumah sakit?"
"Kalau kondisinya nggak membaik, gue sarankan iya."
Paradikta sontak menegang. "Dia pernah beberapa kali mau bunuh diri," info laki-laki itu kemudian. Entah Galaliel dengar atau tidak, tapi ada getar samar dalam suara Paradikta. "Ini ... bahaya nggak? Maksudnya walau diam begitu ada kemungkinan dia bisa tiba-tiba menyakiti dirinya sendiri atau orang lain?"
Galaliel memutar kepalanya demi memindai Prisha di kejauhan. "She is Najandra's patient, right?"
Bukan hal aneh Galaliel tahu. Saat Paradikta bikin ribut-ribut di Bogor, pria ini pun ada di sana. Entah apa hubungan pastinya dia dengan Najandra, yang jelas mereka rekan sejawat. Well, Najandra bahkan hijrah ke Amera. Apa tujuannya? Paradikta curiga sesuatu, tapi terlalu malas membahasnya.
Lagi, berat bagi Paradikta membenarkannya, tapi toh pada akhirnya dia hanya bisa mengangguk saja. Karena, ya, meski dia menyangkal, mustahil Galaliel belum mendapat cerita dari Najandra. Biar pun informasi medis bersifat rahasia, namun Paradikta cukup yakin bahwa Prisha bukanlah pasien biasa untuk Najandra.
"Dia belum mau bicara. Hanya saja mungkin sama Najandra akan berbeda. Karena, gue yakin ini bukan kejadian pertama, dan selama ini Najandra tahu riwayat kesehatannya. Tentu dia juga lebih memahami cara-cara terakurat untuk mengatasinya." Entah mengapa Paradikta mulai sebal mendengar nama Najandra terus disebut-sebut.
"Kirain sama semua Psikiater sama saja," Paradikta masih kental keberatan.
"Bro, you know what? Meski sama-sama disebut sakit, tapi orang yang sakit fisiknya bisa dilihat. Baik dengan mata telanjang atau bantuan teknologi. But, mental illnesses? Kadang kita perlu lihat sampai ke hatinya. Dan, realitasnya nggak semua pasien bisa kasih kepercayaan atas itu dengan mudah. Choosing the right Psychiatrist is a uniquely personal decision. Mereka memilih orang yang mau mereka percaya persis jodoh. Itulah kenapa banyak pasien melakukan berkali-kali pencarian sampai bisa feel a connection and open up in treatment."
Paradikta mendesah. Lagi-lagi tak sepenuhnya puas. "Gue pikirin deh. Dan, saran lo?"
"Merunut dari cerita yang lo share, I think what's happening in her real life is just too much to process or deal with in the moment. So, her brain sort of pulls the rip cord on reality and pulls her out of the overwhelming situation for a bit." Paradikta melihatnya ketika Galaliel menuliskan sesuatu secara terburu-buru pada secarik kertas di dekatnya. "Dia mungkin kesulitan tidur. Jadi ini gue coba resepin obat. Hopefully she would be better. Cuma, kalau udah lebih baik, dan dia lagi-lagi mengalami hal-hal yang bikin pemikirannya ingin melarikan diri dari kenyataan maka alangkah lebih baiknya to keep her mind busy."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...