Kejutan Paradikta.

7.6K 872 54
                                    

Ini bukan kali pertama Prisha bangun di pagi hari lalu seketika merasa tersentak begitu dia menyadari bahwa dia tidak lagi di rumahnya.

Ugh, rumahnya?

Lagi pula, memangnya selama ini Prisha punya rumah, ya?

Tempat mana sih yang sebetulnya disebutnya sebagai rumah?

Apakah tempat di mana dia tumbuh selama lebih dari dua puluh tahun?

Tempat itu ... ah, sekarang, bahkan sudah seperti lahan terbengkalai. Kendati, sesekali Prisha suka berkunjung dan membersihkan halamannya, tetapi itu toh tak membantu banyak. Entah mengapa rumah yang tidak dihuni menjadi lebih cepat lapuk.

Lagi, entah apa kiranya alasan rumah itu tak kunjung terjual. Mungkin ibu mematok harga terlalu tinggi, atau sedari awal sesungguhnya beliau memanglah tidak niat-niat amat berjualan?

Sebuah alasan yang diam-diam terus menjaga asa Prisha bahwa suatu hari dia pasti bisa segera bertemu ibu, yang tanpa bekal uang entah bagaimana caranya beliau bisa bertahan hidup selama ini?

Kemudian, rumahnya di Bogor? Bah! Jelas-jelas dia cuma menyewa. Saat pertama bangun di sana pun Prisha merasa kosong dan asing.

Namun, sungguh tak seasing tempatnya terbangun kini sih.

Well, Prisha yakin sesaat sebelum tidur—actually, pada akhirnya Prisha terpaksa berbagi ranjang dengan Paradikta, dan pria itu lebih suka tidur dengan lampu menyala, sementara Prisha merasa sesuatu yang terang bukanlah tempat yang membuatnya merasa aman, hanya saja karena dia berada di teritori pria itu maka Prisha pun memutuskan buat tak banyak berdebat, dia mengalah dengan membalut tubuhnya rapat hingga tak ada celah masuk untuk sedikit pun cahaya, entah kapan tepatnya dia jatuh tertidur? Mungkin saat Paradikta menghalaunya dari sofa karena pria itu mau memakainya untuk bekerja? Sedikit aneh dia bekerja di sana karena jelas-jelas rumah gendongan ini punya banyak sekali ruangan yang bisa dimanfaatkannya sebagai tempat berkeja yang proper, entahlah dia mungkin cuma mau bikin Prisha tak nyaman saja sih—dan, balik lagi, perempuan itu yakin sesaat sebelum tidur dia sempat melihat tergantungnya foto Saniya di dekat pintu. Besar sekali. Tingginya bahkan nyaris setubuh Prisha kalau dijejerkan.

Lalu, sekarang, dengan ukuran tak kalah besarnya—bahkan diletakkan dengan amat presisi bersama potret pernikahan Paradikta juga Saniya, yang tampak glamour mengusung tema bernuansa garden party—ada sebuah foto lain berisi dua sosok manusia, yang sedang berdiri kaku saling bersisian sambil menunjukkan sepasang buku nikah. Prisha bahkan tak ingat dia pernah berpose aneh seperti itu, tapi di dalam potret ala-ala retro itu betul-betul termuat wajahnya.

Hish! Apakah itu menggunakan semacam teknologi AI? Dan, kenapa bisa itu menggantung di sana secara tiba-tiba? Prisha rasanya ingin mencopotnya dari dinding. Sayangnya, niat itu secepat kilat surut ketika pintu kamar Paradikta keburu terdengar lirih diketuk.

Prisha sontak menoleh demi menatap gagangnya yang samar bergerak-gerak. Mungkin sedang coba ditarik dari luar. Tanpa banyak pertimbangkan, Prisha melompat turun dari kasur, dan berjalan mendekat demi membuka kuncinya.

Ugh! Habislah sudah Prisha jika yang di balik pintu itu adalah Gustiraja.

Paradikta boleh jadi akan mengomelinya habis-habisan. Sebab, bagaimana pun pria itu tentu tak ingin melewatkan sedikit saja kesempatan untuk beraksi seheboh mungkin di depan Eyangnya. Mengingat semalam dia telah gagal.

Namun, ternyata ... bukan.

Yah. Begitu pintu terbuka sempurna, Prisha justru mendapati Naga lah yang tengah ragu-ragu berdiri. Tampak telah rapi seperti hendak bersiap pergi.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang